Sponsored

Prabowo-Gibran: Media Arus Utama vs. Medsos, Riset Ungkap Perbedaan!

Kemitraan Demokrasi dan Pemberdayaan Elektoral (DEEP) baru-baru ini merilis hasil risetnya yang menyoroti dinamika narasi di media arus utama serta media sosial terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Penelitian ini mengungkap perbedaan signifikan dalam cara kedua platform tersebut membentuk persepsi publik.

Sponsored

Dari analisis mendalam, DEEP menemukan adanya ketimpangan narasi yang mencolok antara pemberitaan yang disajikan oleh media arus utama dengan percakapan publik yang berkembang di media sosial (medsos) mengenai Prabowo-Gibran sepanjang tahun 2025. Perbedaan ini memberikan gambaran kompleks tentang bagaimana opini publik terbentuk.

Direktur DEEP, Neni Nur Hayati, menjelaskan bahwa kecenderungan media arus utama adalah menyajikan liputan dengan sentimen yang lebih positif. Sebaliknya, ruang media sosial justru didominasi oleh gelombang kritik yang mengalir deras terhadap kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran.

Riset yang bertajuk ‘Evaluasi dan Refleksi Akhir Tahun dalam Lanskap Politik Demokrasi, Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi, Pendidikan, Ekonomi’ ini secara cermat memetakan sentimen publik. Temuan ini lantas memicu lonjakan percakapan, baik di platform media sosial maupun di media arus utama.

“Secara angka, proporsi tingginya sentimen positif di pemberitaan media dan sentimen negatif di media sosial menunjukkan adanya dukungan terhadap Kabinet Merah Putih, tetapi publik memberikan kritik serius kepada pemerintahan Prabowo-Gibran,” ungkap Neni saat memaparkan hasil temuan DEEP di Rumah Perubahan, Bekasi, Jawa Barat pada Selasa (2/12). Pernyataan ini menegaskan adanya dualitas dalam persepsi masyarakat.

Neni menyoroti bahwa pemberitaan di media arus utama melalui proses editorial yang ketat, mulai dari pemilihan judul, diksi, hingga cara isu dibingkai. Proses ini secara inheren menciptakan liputan yang lebih moderat dan cenderung menghindari penggunaan bahasa yang keras atau konfrontatif.

Berbeda halnya dengan ruang media sosial, di mana publik memiliki kebebasan yang lebih besar untuk mengungkapkan kemarahan atau kekecewaan terhadap kinerja pemerintah yang mereka nilai belum optimal. Tanpa filter editorial, ekspresi di platform digital menjadi lebih spontan dan seringkali lebih tajam.

“Misalnya narasi bubarkan DPR dan KPK ketika kinerjanya tidak sesuai dengan harapan rakyat. Jadi memang tidak ada filter narasi atau diksi di ruang medsos,” jelas Neni, memberikan contoh konkret bagaimana ruang digital menjadi wadah bagi suara-suara kritis yang tak tersaring.

Presiden pimpin Upacara Ziarah Nasional Hari Pahlawan (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/sg) 

Sebagai ilustrasi, Neni memaparkan bahwa narasi seputar pengesahan revisi Undang-Undang (UU) TNI dan isu “koalisi gemuk” menjadi pemicu sentimen negatif publik yang kuat terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran di media sosial sepanjang tahun ini. Isu-isu ini resonansi luas di kalangan netizen.

Lebih lanjut, wacana pengesahan revisi UU TNI, formasi “koalisi gemuk”, dugaan kemunduran kebebasan sipil, hingga buruknya komunikasi publik pemerintah menjadi pusat dari berbagai sentimen negatif yang mengarah kepada pemerintahan Prabowo-Gibran. Ini menunjukkan spektrum kekhawatiran yang mendalam.

Namun, di sisi lain, beberapa peristiwa berhasil menopang sentimen positif terhadap pemerintah. Pidato Presiden Prabowo di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan keterlibatannya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gaza merupakan contoh utama yang mendapatkan apresiasi dari sebagian kalangan.

Meskipun demikian, sambutan positif terhadap pidato Prabowo tidak serta-merta menghilangkan keraguan publik. Masyarakat tetap menilai Indonesia belum sepenuhnya bersikap tegas dalam membela Palestina, dan tawaran two-state solution yang disampaikan pemerintah justru memicu beragam kritik dan perdebatan di ruang publik.

Media sosial sering menjadi tempat di mana masyarakat lebih bebas menyampaikan keluh kesah, kritik, atau ketidakpuasan. Algoritma media sosial juga cenderung mempercepat penyebaran konten yang memicu emosi kuat,” tegas Neni, menggarisbawahi peran krusial platform ini dalam membentuk dan menyebarkan opini.

Untuk mengabadikan potret dinamika politik, demokrasi, hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi sepanjang tahun 2025, penelitian DEEP kali ini menggunakan dua jenis data utama yang komprehensif.

DEEP mengumpulkan data kuantitatif dari media sosial yang mencakup seluruh mentions, komentar, likes, shares, serta unggahan yang memuat kata kunci relevan. Kata kunci tersebut antara lain terkait pemerintahan Prabowo–Gibran, politik, pemilu, demokrasi, hukum, HAM, dan isu korupsi, memastikan cakupan yang luas.

Data tersebut dihimpun dari lima platform media sosial terkemuka: X, Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok. Tujuan dari pengumpulan ini adalah untuk mengamati secara detail bagaimana publik mengekspresikan opini, kritik, dan persepsi mereka terhadap pemerintah di ranah digital yang dinamis.

Tidak hanya itu, DEEP juga memanfaatkan data kuantitatif dari 174.730 media berita mainstream. Sumber ini dihimpun dari pemberitaan media siber, media cetak, dan media elektronik. Seluruh berita, artikel, dan opini ini dikurasi melalui basis data media daring terverifikasi, transkrip siaran berita elektronik, serta kliping media cetak, menjamin validitas dan kedalaman analisis.

Ringkasan

Riset Kemitraan Demokrasi dan Pemberdayaan Elektoral (DEEP) mengungkap perbedaan narasi antara media arus utama dan media sosial mengenai pemerintahan Prabowo-Gibran. Media arus utama cenderung menampilkan sentimen positif, sementara media sosial didominasi kritik terhadap kinerja pemerintahan.

Perbedaan ini dipengaruhi oleh proses editorial yang ketat di media arus utama dan kebebasan berekspresi di media sosial. Isu seperti revisi UU TNI dan “koalisi gemuk” memicu sentimen negatif di media sosial, sementara pidato Prabowo di PBB memberikan sentimen positif. DEEP mengumpulkan data dari media sosial dan 174.730 media mainstream untuk menganalisis dinamika ini.

Sponsored