Sponsored

Sindiran Pedas Bos BI: Suku Bunga Kredit Bank Terlalu Tinggi?

Jakarta, IDN Times – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mendesak perbankan nasional untuk segera merespons dengan menurunkan suku bunga kredit. Langkah ini dinilai krusial untuk mempercepat pertumbuhan kredit dan mendorong pemulihan ekonomi lebih lanjut. Sebagai pendorong, BI telah menyiapkan insentif menarik melalui skema Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) bagi bank-bank yang menunjukkan kinerja positif dalam penyaluran kredit.

Sponsored

Perry Warjiyo menegaskan urgensi tersebut dengan peribahasa populer: “Ikan sepat, ikan gabus, semakin cepat, semakin bagus.” Ia melanjutkan, “Semakin cepat kredit tumbuh dan semakin cepat suku bunga kredit turun, BI akan memberikan insentif yang lebih tinggi.” Pernyataan ini disampaikan Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu (22/10/2025).

Untuk mewujudkan percepatan tersebut, BI memperkuat implementasi KLM berbasis kinerja yang berorientasi ke depan. Kebijakan strategis ini, yang akan mulai berlaku efektif pada 1 Desember 2025, dirancang khusus untuk memotivasi perbankan agar lebih agresif dalam menyalurkan kredit, terutama ke berbagai sektor prioritas yang vital bagi perekonomian nasional.

Insentif KLM mencakup dua komponen utama: pertama, Lending Channel dengan potensi insentif maksimal 5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK); dan kedua, Interest Rate Channel yang menawarkan insentif maksimal 0,5 persen dari DPK. Dengan demikian, total insentif yang bisa diterima oleh bank kini ditingkatkan menjadi maksimal 5,5 persen dari DPK. “Jumlah totalnya kami tingkatkan dari sebelumnya 5 persen menjadi 5,5 persen. Yang 5 persen ditujukan untuk mendorong penyaluran kredit. Tentu saja akan dibandingkan antara rencana dan realisasi. Jika realisasinya lebih tinggi, maka insentifnya akan ditambah,” jelas Perry, menekankan bahwa insentif ini sangat bergantung pada realisasi penyaluran kredit.

Sektor-sektor yang menjadi fokus utama dalam skema lending channel ini meliputi: sektor pertanian, industri, dan hilirisasi; sektor jasa, termasuk ekonomi kreatif; sektor konstruksi, real estate, dan perumahan; serta sektor UMKM, koperasi, inklusi, dan pembangunan berkelanjutan. Dorongan ini diharapkan dapat mengalirkan dana secara tepat sasaran untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di berbagai lini penting.

Namun, di balik dorongan insentif ini, terdapat tantangan yang disoroti oleh Deputi Gubernur BI, Aida S. Budiman. Ia memaparkan adanya ketimpangan signifikan antara penurunan suku bunga acuan BI dengan respons perbankan. Sejak awal 2025, BI telah menurunkan suku bunga acuannya secara agresif sebesar 150 basis poin (bps), namun penurunan suku bunga kredit perbankan masih berjalan sangat lambat.

Aida merinci bahwa suku bunga kredit perbankan hanya turun 15 bps, dari 9,20 persen di awal 2025 menjadi 9,05 persen pada September 2025, angka yang dinilai masih sangat terbatas. Berbanding terbalik, instrumen pasar uang lainnya justru menunjukkan penurunan yang jauh lebih signifikan: suku bunga INDONIA anjlok 204 bps (dari 6,03 persen menjadi 3,99 persen per 21 Oktober 2025); suku bunga Sekuritas Rupiah BI (SRBI) tenor 6, 9, dan 12 bulan turun masing-masing 251 bps, 254 bps, dan 257 bps; imbal hasil SBN tenor 2 tahun turun 218 bps (dari 6,96 persen menjadi 4,78 persen); dan imbal hasil SBN tenor 10 tahun turun 132 bps (dari 7,26 persen menjadi 5,94 persen).

Kontras mencolok juga terlihat pada suku bunga deposito 1 bulan yang hanya terkoreksi tipis 29 bps, dari 4,81 persen menjadi 4,52 persen. Fenomena ini disinyalir disebabkan oleh praktik pemberian special rate kepada deposan-deposan besar, yang porsinya bahkan mencapai 26 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK).

Mengingat tren penurunan suku bunga di pasar uang yang telah demikian signifikan, BI menaruh harapan besar agar perbankan dapat segera merespons dengan melakukan penyesuaian suku bunga kreditnya. Langkah ini dianggap krusial demi memastikan transmisi kebijakan moneter berjalan lebih efektif dan mampu memberikan dampak positif secara langsung pada sektor riil. “Penurunan di sisi pasar uang sudah sangat signifikan. Sekarang tantangannya ada di sektor perbankan agar menyesuaikan suku bunga kredit lebih cepat,” pungkas Aida, menggarisbawahi urgensi bagi sektor perbankan untuk bertindak.

Ringkasan

Gubernur Bank Indonesia (BI) mendorong perbankan untuk segera menurunkan suku bunga kredit guna mempercepat pertumbuhan kredit dan pemulihan ekonomi. BI telah menyiapkan insentif melalui Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang akan berlaku efektif 1 Desember 2025, dengan potensi insentif maksimal 5,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bagi bank yang aktif menyalurkan kredit ke sektor prioritas.

Deputi Gubernur BI menyoroti ketimpangan antara penurunan suku bunga acuan BI yang signifikan sebesar 150 bps dengan penurunan suku bunga kredit perbankan yang lambat, hanya turun 15 bps. BI berharap perbankan dapat segera menyesuaikan suku bunga kredit agar transmisi kebijakan moneter berjalan efektif dan berdampak positif pada sektor riil, mengingat penurunan suku bunga di pasar uang sudah signifikan.

Sponsored