Polemik penyesuaian upah minimum kembali memanas di penghujung tahun ini. Tiga pihak utama dalam Dewan Pengupahan Nasional (Depenas)—yakni buruh, pengusaha, dan pemerintah—masih bersikukuh pada posisi masing-masing, menciptakan ketegangan menjelang terbitnya payung hukum penetapan besaran kenaikan upah tahun depan pada Jumat (21/11). Situasi ini krusial mengingat implikasinya yang luas terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan pekerja di Indonesia.
Depenas telah mencapai kesepakatan terkait formula dasar penentuan upah minimum untuk tahun depan: kombinasi antara inflasi dan hasil perkalian indeks tertentu dengan pertumbuhan ekonomi. Indeks tertentu ini didefinisikan sebagai kontribusi tenaga kerja dalam pertumbuhan ekonomi, yang perhitungannya akan mempertimbangkan 64 barang kebutuhan hidup layak (KHL). Data inflasi yang disepakati sebesar 2,65% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12%, angka yang diperoleh dari rata-rata inflasi dan pertumbuhan ekonomi periode Oktober 2024 hingga September 2025. Namun, di balik kesepakatan formula ini, perbedaan mendasar muncul pada penetapan nilai indeks tertentu yang diusulkan oleh setiap pihak, dengan buruh mengusulkan 0,9-1,0, pengusaha 0,1-0,5, dan pemerintah 0,2-0,7. Disparitas angka ini menjadi pangkal perselisihan yang signifikan.
Upah Minimum Versi Pengusaha
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan tegas mengusulkan agar kenaikan upah minimum tahun depan tidak melampaui 4%. Angka ini, menurut Apindo, esensial untuk menjaga stabilitas biaya operasional perusahaan di tengah ketidakpastian pasar yang masih membayangi. Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, menekankan bahwa upah minimum berfungsi sebagai jaring pengaman sosial khusus bagi tenaga kerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Oleh karena itu, bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari setahun, penyesuaian upah idealnya disesuaikan secara bipartit, berdasarkan kinerja dan kesepakatan internal perusahaan.
Bob Azam memberikan contoh, “Kalau performa perusahaan baik dan mau menaikkan upah minimum tahun depan 5%, monggo.” Namun, ia menyoroti dampak kenaikan upah sebesar 6,5% tahun sebelumnya terhadap industri padat karya, yang terasa berat mengingat inflasi pada periode itu hanya sekitar 2,5%. Kenaikan yang tidak proporsional ini, lanjut Bob, telah mendorong mayoritas pelaku industri padat karya untuk mengadopsi otomatisasi dalam proses produksi. Implikasinya, meskipun angka Purchasing Manager’s Index (PMI) pada Agustus-Oktober 2025 menunjukkan ekspansi, ironisnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi. Ia menambahkan, “Perusahaan industri padat karya mulai menghitung kenaikan upah minimum tahun ini akan memberatkan mereka pada lima hingga 10 tahun ke depan. Akhirnya mereka meningkatkan proses otomatisasi dan justru mengurangi tenaga kerja.”
Lebih lanjut, Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani menegaskan pentingnya mempertimbangkan kemampuan pengusaha dalam penghitungan upah guna menghindari gelombang PHK. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan rumus upah minimum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2024 tentang Cipta Kerja tidak lagi berlaku. “Kami harap semua pihak sadar bahwa fokus upah minimum 2026 bukan besarnya, melainkan apakah pengusaha bisa bertahan dengan angka upah tersebut. Dampaknya akan meluas ke isu lapangan kerja kalau dipaksakan naik,” ujar Shinta.
Apindo juga mendorong agar formula upah minimum tahun depan tetap memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di setiap daerah secara spesifik. Prinsip ini, menurut Shinta, akan menciptakan formula yang lebih adil dibandingkan keputusan tahun sebelumnya. Ia mengingatkan bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan upah minimum sebesar 6,5% di semua kabupaten/kota tahun ini dilakukan tanpa rumus yang disepakati bersama. “Dampaknya agak mengejutkan yang akhirnya menimbulkan banyak PHK. Tidak semua perusahaan di satu daerah bisa mengikuti penyesuaian di daerah lainnya. Tidak ada yang namanya upah minimum nasional,” pungkasnya, menggarisbawahi pentingnya pendekatan regional.
Upah Minimum Versi Buruh
Dari sisi buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menyoroti perbedaan krusial dalam penentuan indeks tertentu, khususnya terkait sudut pandang kebutuhan hidup layak (KHL). Pemerintah cenderung mendorong angka KHL berdasarkan harga di tingkat provinsi atau grosir, sementara buruh bersikeras pada tingkat kabupaten/kota atau ritel, yang dinilai lebih merepresentasikan realitas biaya hidup. Perlu diingat bahwa formula KHL terakhir kali digunakan dalam penyesuaian upah minimum pada tahun 2020, sebelum akhirnya lenyap setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea memperkirakan bahwa dengan mempertimbangkan harga 64 barang KHL, kenaikan upah minimum tahun depan dapat mencapai hampir 8%. Angka ini, menurut Andi Gani, telah memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta kontribusi riil buruh dalam perekonomian. Ia berargumen bahwa penentuan harga KHL di tingkat kabupaten/kota sangat vital, mengingat disparitas pertumbuhan ekonomi antar daerah dalam satu provinsi. Dengan demikian, penetapan upah minimum tahun depan akan lebih relevan dengan kondisi ekonomi spesifik masing-masing daerah.
Sementara itu, Presiden KSPI Said Iqbal telah menurunkan tuntutan kenaikan upah minimum dari kisaran 8,5% hingga 10,5% menjadi setidaknya 6,5%. Penyesuaian angka ini didasari pada penilaian bahwa kondisi perekonomian nasional saat ini tidak jauh berbeda dengan kondisi saat Presiden Prabowo Subianto menetapkan upah minimum tahun lalu. Lebih jauh, Said mendorong agar penyesuaian upah minimum tidak melampaui 7,77%, sejalan dengan usulan indeks tertentu sebesar 1,0 dari pihak buruh. Kenaikan upah dalam rentang tersebut, menurutnya, krusial untuk mendongkrak daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Upah Minimum Versi Pemerintah
Said Iqbal juga mengungkapkan bahwa pemerintah melalui perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) di Depenas telah mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 3,75% untuk tahun depan. Angka ini dilaporkan berasal dari hasil kajian upah minimum yang disusun oleh Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Namun, Said Iqbal mempertanyakan transparansi data tersebut. “Kami telah meminta BPS untuk membuka data Susenas yang dimaksud, tapi tidak diberikan,” tegas Said dalam konferensi pers virtual.
Lebih lanjut, Said menyangsikan legitimasi keterlibatan DEN dalam penghitungan upah minimum. Menurutnya, satu-satunya perwakilan pemerintah yang sah dalam Dewan Pengupahan Nasional adalah Kementerian Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ia menilai bahwa DEN tidak memiliki legitimasi untuk memengaruhi diskusi yang berlangsung di Depenas, membuat usulan upah minimum dari pemerintah terkesan kurang berdasar atau “asal-asalan.” Dengan nada menantang, Said Iqbal menyampaikan pesan keras, “Kami ingatkan kepada Menteri Ketenagakerjaan, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, apalagi DEN: jangan coba-coba adu nyali dengan buruh karena kami sudah biasa miskin.”
Ringkasan
Penetapan upah minimum 2024 diwarnai ketegangan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah terkait formula dan nilai indeks yang digunakan. Meskipun formula dasar (inflasi dan pertumbuhan ekonomi) disepakati, perbedaan signifikan muncul pada nilai indeks kontribusi tenaga kerja dalam pertumbuhan ekonomi, di mana buruh mengusulkan angka lebih tinggi dari pengusaha dan pemerintah. Situasi ini krusial karena dampaknya luas terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan pekerja.
Pengusaha (Apindo) mengusulkan kenaikan tidak lebih dari 4% untuk menjaga stabilitas biaya operasional perusahaan, sementara buruh (KSPSI dan KSPI) menuntut kenaikan yang lebih besar, dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL) di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah, melalui Kemenaker, dilaporkan mengusulkan kenaikan 3,75% berdasarkan kajian DEN, yang kemudian dipersoalkan oleh buruh terkait transparansi dan legitimasi datanya.