Babaumma – JAKARTA — Pasar saham Indonesia kembali diwarnai tekanan setelah investor asing membukukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp4,18 triliun pada periode 1-4 September 2025. Penjualan masif ini tak pelak membebani sejumlah saham berkapitalisasi besar di tengah bayang-bayang fenomena September Effect.
Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkapkan bahwa nilai net sell tersebut setara dengan US$254,1 juta. Kondisi ini menegaskan berlanjutnya aliran keluar dana asing dari pasar domestik, meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mencatatkan penguatan tipis 0,47% ke level 7.867,35 pada penutupan pekan lalu. Tekanan jual ini mengindikasikan sentimen negatif yang masih membayangi.
Dampak dari aksi jual investor asing ini terasa kuat pada pergerakan saham-saham unggulan. Tiga bank besar yang menjadi penopang utama IHSG, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) terkoreksi 1,23% dan memangkas 8,24 poin indeks. Disusul oleh PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang melemah 0,93% dengan beban 5,35 poin, serta PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) yang turun 1,06% dan mengurangi 4,38 poin dari total indeks.
Baca Juga: Saham Pilihan UOB Kay Hian September 2025: BBCA, BRMS dan ARCI Masuk Daftar
Tidak hanya sektor perbankan, saham unggulan lainnya juga terpukul. PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) turut membebani IHSG dengan penurunan signifikan 4,43%, setara pengurangan 15,16 poin. Sementara itu, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (AMRT) mencatatkan koreksi yang lebih dalam, yakni 5,45%, menjadikannya salah satu saham dengan kinerja terlemah (laggard) sepanjang pekan.
Namun, di tengah tekanan jual tersebut, beberapa saham justru mampu menunjukkan ketahanan dan menjadi penopang IHSG. PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) melesat 11,51% dan menyumbang 7,14 poin positif. Kontributor positif lainnya datang dari PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) yang menguat 7,06%, serta PT Amman Mineral Internasional Tbk. (AMMN) dengan kenaikan 2,87%.
Dari perspektif sektoral, aliran dana keluar asing memukul kinerja saham keuangan, membuat sektor finansial terkoreksi 0,53% dalam sepekan. Namun, di sisi lain, sektor industri menunjukkan lonjakan impresif sebesar 5,09%, dan saham sektor consumer cyclicals juga mencatatkan penguatan 4,83%, memberikan sinyal beragam di tengah pelemahan.
Mengulas fenomena ini, Analis Reliance Sekuritas Indonesia, Arifin, menjelaskan bahwa fenomena September Effect atau yang juga dikenal sebagai Black September, secara historis memang kerap menjadi pemicu pelemahan di pasar saham. Ia menyoroti bahwa pada bulan ini, pasar cenderung lebih volatil karena dipengaruhi oleh berbagai faktor.
“Secara historis, September dikenal sebagai bulan paling volatil. Salah satunya dipicu oleh kebutuhan pembiayaan rutin, seperti biaya sekolah anak, yang mendorong sebagian investor untuk melepas portofolio saham mereka,” jelas Arifin dalam diskusi Market Update, dikutip Jumat (5/9/2025).
Selain itu, Arifin juga mencermati bahwa gejolak sosial-politik yang terjadi pada awal September 2025 turut berkontribusi menekan kinerja pasar saham. Kendati demikian, ia tetap melihat adanya potensi kenaikan dan pemulihan setelah fase turbulensi ini mereda.
Lebih lanjut, Arifin menyoroti sejumlah faktor global yang berpotensi menjadi risiko tambahan bagi pasar. Di antaranya adalah ketidakpastian seputar tarif impor Amerika Serikat (AS) di era pemerintahan Trump, wacana pemangkasan pajak korporasi dari 21% menjadi 15%, serta arah kebijakan suku bunga bank sentral The Fed yang masih menjadi perdebatan hangat.
Ia menambahkan, “Kebijakan fiskal Amerika diperkirakan akan berdampak global, berpotensi memicu kenaikan yield obligasi pemerintah di berbagai negara. Ini pada akhirnya dapat memperketat kondisi keuangan di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.”
Sementara itu, data historis dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia turut memperkuat pandangan tentang September Effect. Dalam satu dekade terakhir, IHSG tercatat hanya dua kali menguat dan delapan kali melemah sepanjang September. Rata-rata penurunan indeks pada bulan ini bahkan mencapai 1,8%, menjadi yang tertinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Terlepas dari tren historis yang suram, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Martha Christina, mengungkapkan bahwa perhatian utama pelaku pasar saat ini tertuju pada keputusan Federal Reserve (The Fed) terkait suku bunga acuan Amerika Serikat (AS). Pengumuman penting ini dijadwalkan pada 17 September 2025.
Tidak hanya keputusan The Fed, pasar juga akan mencermati sejumlah data ekonomi krusial lainnya. Ini termasuk data Non-Farm Payroll AS yang akan dirilis pada 5 September, data inflasi AS pada 11 September, serta pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI Rate yang juga dijadwalkan pada 17 September.
Selain faktor-faktor ekonomi makro, Martha menambahkan bahwa perkembangan situasi sosial-politik dalam negeri dan dinamika geopolitik global juga akan menjadi sentimen negatif yang signifikan bagi pergerakan indeks komposit ke depan.
Dengan mempertimbangkan sederet sentimen tersebut, Martha memperkirakan IHSG berpotensi melemah sepanjang September 2025. Salah satu alasannya, ekspektasi pemangkasan suku bunga AS sebenarnya sudah “diperhitungkan pasar” (price-in). Kondisi ini justru berpotensi memicu aksi ambil untung (profit taking) dari para investor.
“September ini seharusnya ditopang oleh pemangkasan Fed Rate, yang memang sebenarnya sudah price-in di pasar. Jadi, jika muncul berita terkait ketidakstabilan politik, keamanan, atau sosial, itu sangat berpotensi memicu aksi profit taking yang lebih masif,” pungkas Martha.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
Investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp4,18 triliun (US$254,1 juta) di pasar saham Indonesia pada 1-4 September 2025, menekan IHSG meskipun sempat menguat tipis sebelumnya. Penjualan ini berdampak signifikan pada saham-saham besar, terutama di sektor perbankan, namun beberapa saham lainnya justru mengalami kenaikan.
Fenomena September Effect, yang secara historis dikaitkan dengan volatilitas pasar dan aksi jual, diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan. Faktor lain yang mempengaruhi meliputi kebutuhan pembiayaan rutin, gejolak sosial-politik, ketidakpastian kebijakan AS (tarif impor, pajak korporasi, suku bunga The Fed), dan data ekonomi penting seperti Non-Farm Payroll AS dan pengumuman suku bunga The Fed serta BI Rate pada 17 September 2025.