Gita Wirjawan, peneliti tamu di Stanford dan pembawa acara Endgame Podcast, menyoroti kekurangan storyteller handal di Indonesia. Meskipun demikian, ia optimistis potensi tersebut sebenarnya melekat dalam masyarakat Indonesia. Namun, ia menekankan pentingnya penguasaan literasi dan numerasi sebagai fondasi kemampuan bercerita yang efektif.
Sayangnya, berdasarkan data Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia masih tertinggal jauh dari rata-rata negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam hal literasi dan numerasi. Siswa Indonesia berusia 15 tahun memperoleh skor rata-rata 366 poin untuk matematika, 383 poin untuk sains, dan 359 poin untuk membaca. Angka ini jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 472, 485, dan 476 poin untuk masing-masing bidang tersebut. Lebih mengkhawatirkan lagi, skor Indonesia menunjukkan tren penurunan dibandingkan hasil PISA 2018.
Persentase siswa Indonesia yang mencapai level kompetensi minimum (Level 2 ke atas) juga memprihatinkan. Hanya 18% siswa mencapai Level 2 atau lebih tinggi dalam matematika (dibandingkan 69% rata-rata OECD), 25% dalam membaca (dibandingkan 74% rata-rata OECD), dan 34% dalam sains (dibandingkan 76% rata-rata OECD).
Menurut Gita Wirjawan, peningkatan literasi dan numerasi merupakan langkah krusial dalam membentuk generasi storyteller yang mumpuni. “Menciptakan storyteller bukanlah hal sulit. Kita hanya perlu mendidik anak-anak muda dengan numerasi dan literasi yang lebih baik,” tegasnya. Ia menekankan perlunya perbaikan sistem pendidikan, dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi, sebagai investasi utama.
Selain pendidikan, Gita juga menyoroti pentingnya perluasan ruang ekonomi di Indonesia dan Asia Tenggara, baik secara fiskal maupun moneter. Namun, ia mengakui keterbatasan fiskal di kawasan ini, dengan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya berkisar 10-16%, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 33%. Oleh karena itu, menarik investasi asing langsung (FDI) menjadi strategi penting, yang menuntut penguasaan literasi dan numerasi untuk mampu bernegosiasi dan berkolaborasi secara efektif di kancah global.
Lebih lanjut, Gita menekankan pentingnya kolaborasi internasional dalam era multipolar saat ini, di mana kerja sama bilateral dan plurilateral, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), semakin krusial. “Untuk berkolaborasi dengan lima atau 15 negara, kita tetap butuh storytelling,” ujarnya. Kemampuan bercerita yang baik menjadi kunci dalam menjalin hubungan dan mencapai kesepakatan.
Terakhir, Gita Wirjawan juga menyoroti dampak negatif penggunaan gawai berlebihan pada kesehatan mental anak muda. Ia menganjurkan pembatasan penggunaan smartphone, menyarankan agar waktu luang lebih dimaksimalkan untuk membaca buku, jurnal, menulis, atau berpikir. Ia pun menekankan pentingnya membangun budaya membaca yang kuat, dengan dukungan aktif dari guru, orang tua, dan tokoh masyarakat.
Ringkasan
Indonesia mengalami kekurangan storyteller handal, meskipun potensinya ada dalam masyarakat. Gita Wirjawan menekankan pentingnya peningkatan literasi dan numerasi sebagai fondasi kemampuan bercerita efektif, karena data PISA 2022 menunjukkan Indonesia jauh tertinggal dari rata-rata OECD dalam hal ini, dengan skor yang bahkan menurun dibandingkan tahun 2018. Persentase siswa yang mencapai kompetensi minimum juga sangat rendah.
Peningkatan literasi dan numerasi melalui perbaikan sistem pendidikan dari tingkat TK hingga perguruan tinggi dianggap krusial. Selain itu, perluasan ruang ekonomi dan investasi asing langsung (FDI) juga penting, yang membutuhkan penguasaan literasi dan numerasi untuk bernegosiasi di kancah global. Kolaborasi internasional dan budaya membaca yang kuat juga disoroti sebagai faktor penting dalam membentuk storyteller yang mumpuni dan mengurangi dampak negatif penggunaan gawai berlebihan.