
Ketika Prabowo Subianto menapaki satu tahun masa jabatannya sebagai Presiden, kepemimpinannya dinilai menghadapi serangkaian dilema krusial. Menurut Arya Fernandes, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), situasi ini merupakan wujud dari ‘policy trade-off’. Istilah ini merujuk pada pengambilan kebijakan yang menuntut pengorbanan salah satu pilihan demi prioritas lainnya. Penilaian mendalam ini disampaikan Arya dalam acara bergengsi Katadata Policy Dialogue bertajuk ‘Satu Tahun Prabowo-Gibran, Mengukur Langkah Awal Prabowonomics’, yang diselenggarakan di Lounge Katadata Indonesia, Jakarta Selatan, pada Selasa (21/10).
Arya Fernandes mengidentifikasi bahwa tiga pilar utama menjadi arena pertarungan ‘trade-off’ kebijakan yang menonjol selama setahun ini. Trade-off pertama adalah mengenai kontinuitas program. Pemerintahan Prabowo dihadapkan pada pilihan apakah akan melanjutkan secara menyeluruh program-program yang diinisiasi oleh pemerintahan Joko Widodo atau mengedepankan agenda baru. Meskipun janji keberlanjutan sering digaungkan, Arya mengamati bahwa dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan Prabowo cenderung mengambil posisi untuk memperkenalkan dan mengimplementasikan program-programnya sendiri yang lebih beragam.
Katadata Policy Dialogue – Satu Tahun Pemerintahan Prabowo (Foto: Katadata/Fauza Syahputra)
Kemudian, trade-off kedua yang sangat menonjol adalah perubahan fundamental dalam orientasi kebijakan fiskal. Arya Fernandes menyoroti perbedaan signifikan antara era Presiden ke-7 Jokowi, yang sangat fokus pada pembangunan infrastruktur dengan alokasi APBN yang masif, dan era Prabowo. Di bawah kepemimpinan Prabowo, terjadi pergeseran prioritas dari infrastruktur menuju program-program redistribusi sosial yang bersifat lebih populis. Contoh konkret dari pergeseran ini termasuk inisiatif seperti dana Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat. Selain itu, perubahan ini juga ditandai dengan peningkatan signifikan pada anggaran pertahanan, yang mencakup belanja serta upaya modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Terakhir, trade-off ketiga berkaitan dengan proporsi peran antara pemerintah pusat dan daerah. Arya Fernandes berpendapat bahwa di bawah kepemimpinan saat ini, peran pemerintah pusat mengalami pembesaran yang signifikan dibandingkan era sebelumnya. Indikasi kuat dari fenomena ini adalah meningkatnya ketergantungan daerah pada kucuran dana fiskal dari pusat. Lebih lanjut, pengelolaan berbagai program strategis, seperti inisiatif Makan Bergizi Gratis (MBG), kini cenderung terpusat. MBG, misalnya, menunjukkan struktur pendanaan, implementasi, hingga organisasi pelaksana yang baru dan sepenuhnya diatur oleh pusat. Situasi ini berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya, seperti era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana program seperti PNPM Mandiri dirancang dengan melibatkan aktif pemerintah daerah.
Ringkasan
Prabowo Subianto menghadapi dilema krusial dalam setahun masa jabatannya sebagai Presiden, yang disebut sebagai ‘policy trade-off’. Arya Fernandes dari CSIS mengidentifikasi tiga pilar utama yang menjadi arena pertarungan ‘trade-off’ kebijakan, yaitu kontinuitas program Jokowi, orientasi kebijakan fiskal, dan proporsi peran pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintahan Prabowo dihadapkan pada pilihan antara melanjutkan program Jokowi atau mengedepankan agenda baru, dengan kecenderungan memperkenalkan program sendiri. Terjadi pergeseran prioritas dari pembangunan infrastruktur ke program redistribusi sosial seperti Makan Bergizi Gratis, dan peningkatan anggaran pertahanan. Selain itu, peran pemerintah pusat mengalami pembesaran dibandingkan era sebelumnya, ditandai dengan meningkatnya ketergantungan daerah pada dana fiskal pusat dan sentralisasi pengelolaan program strategis.