Rp200 Triliun untuk Ekonomi: Efektifkah Gerakannya?

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, memulai masa jabatannya dengan gebrakan signifikan: memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke lima bank BUMN—BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN, dan BSI. Langkah ini bukan sekadar pergeseran kas negara, melainkan strategi cerdik untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil. Di baliknya tersimpan ambisi besar: memperbaiki basis fiskal dan meningkatkan rasio pajak Indonesia yang masih tertinggal.

Bagi publik, angka Rp200 triliun terdengar seperti solusi ajaib untuk mengatasi kelesuan ekonomi. Namun, pertanyaannya tetap sama: akankah suntikan dana ini benar-benar menggerakkan roda ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara? Ataukah hanya akan menjadi dana mengendap, tak jauh berbeda dengan saldo kas di Bank Indonesia sebelumnya?

Sejak pandemi, saldo kas pemerintah di Bank Indonesia terus membengkak. Belanja negara tak terserap optimal, sementara penerimaan pajak belum sepenuhnya pulih. Hasilnya, kas negara menumpuk tanpa dampak signifikan pada perekonomian. Di sisi lain, sistem perbankan masih menghadapi kendala dalam menyalurkan kredit dalam jumlah besar, sementara dunia usaha sangat membutuhkan suntikan dana untuk pemulihan.

Memahami situasi ini, Menkeu Purbaya mengambil keputusan berani. Dana tersebut dialokasikan ke bank-bank BUMN dengan syarat: harus disalurkan sebagai kredit ke sektor riil, bukan untuk pembelian obligasi pemerintah atau sekadar memperkuat neraca bank. Logikanya sederhana: aliran kredit yang meningkat akan mendorong investasi dan konsumsi, menggerakkan pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya meningkatkan penerimaan pajak.

Rasio Pajak: Ambisi Lama yang Sulit Dicapai

Rasio pajak Indonesia memang menjadi tantangan lama. Rasio pajak, yang menunjukkan porsi penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih jauh di bawah rata-rata negara berkembang (15%-18%) dan negara maju (di atas 25%). Hingga 2023, rasio pajak Indonesia masih berkisar 10%-12%, jauh dari target pemerintah sebesar 15%.

Mengapa rasio pajak sulit ditingkatkan? Ada tiga faktor utama. Pertama, basis pajak yang sempit, karena mayoritas pelaku ekonomi adalah UMKM informal yang belum tercakup dalam sistem perpajakan. Kedua, kelemahan dan kebocoran dalam pengumpulan pajak, disebabkan rendahnya kepatuhan dan celah penghindaran pajak. Ketiga, banyaknya insentif fiskal yang mengurangi potensi penerimaan pajak.

Dalam konteks ini, kebijakan penempatan dana pemerintah di bank diharapkan dapat menjadi katalis pertumbuhan ekonomi, sekaligus memperluas basis pajak.

Bagaimana Rp200 Triliun Bisa Menggerakkan Ekonomi?

Mekanisme transmisi idealnya sederhana: Pemerintah menempatkan Rp200 triliun di perbankan, meningkatkan likuiditas perbankan. Likuiditas ini kemudian disalurkan sebagai kredit ke sektor riil, mendorong peningkatan aktivitas usaha dan konsumsi, memperluas basis pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak, sehingga rasio pajak membaik.

Namun, realitanya jauh lebih kompleks. Apakah bank akan benar-benar menyalurkan kredit produktif jika ada risiko gagal bayar? Apakah dunia usaha siap menyerap kredit tambahan di tengah lesu daya beli dan ketidakpastian global? Apakah seluruh peningkatan aktivitas ekonomi akan tercatat dan masuk ke basis pajak, mengingat banyaknya transaksi di sektor informal? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjuk pada tantangan struktural yang selama ini menghambat dunia usaha Indonesia.

Terdapat dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, skenario optimistis: bank patuh dan menyalurkan kredit ke sektor produktif (UMKM formal, manufaktur, infrastruktur). Proyek baru tercipta, lapangan kerja bertambah, konsumsi meningkat, dan pemerintah memperoleh pajak yang lebih besar dari aktivitas ekonomi yang lebih formal. Rasio pajak naik, ekonomi bergerak lebih inklusif.

Kedua, skenario pesimistis: bank menahan dana atau menyalurkan ke kredit konsumsi yang pengawasannya sulit. Permintaan kredit dari sektor produktif tetap lemah, atau proyek yang dibiayai tak tercatat dalam sistem perpajakan. Akibatnya, Rp200 triliun hanya memperbaiki neraca bank tanpa dampak nyata bagi ekonomi riil maupun penerimaan pajak.

Sejarah menunjukkan, suntikan likuiditas seringkali berakhir pada skenario kedua tanpa regulasi dan pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, desain kebijakan jauh lebih penting daripada besarnya angka yang dipublikasikan. Rp200 triliun berpotensi menjadi stimulus yang sehat, namun juga jebakan fiskal jika tidak dikelola dengan cermat.

Memastikan Kebijakan Bekerja

Kebijakan Menkeu Purbaya patut diapresiasi sebagai langkah berani. Pengalihan dana kas pemerintah secara langsung ke perbankan untuk menggerakkan ekonomi jarang terjadi. Namun, keberhasilannya tak hanya diukur dari besarnya dana, tetapi dari aliran kredit ke sektor produktif, pencatatan aktivitas tersebut dalam sistem perpajakan, dan peningkatan berkelanjutan rasio pajak.

Agar kebijakan ini tak hanya menjadi headline berita, pemerintah perlu pengamanan konkret. Pertama, pengaturan penggunaan dana yang jelas, misalnya minimal 30% untuk kredit UMKM formal, sebagian untuk kredit hijau, dan sebagian untuk investasi padat karya. Kedua, pelaporan yang transparan tentang penyaluran dana, sektor penerima, dan dampaknya terhadap perekonomian. Ketiga, insentif tambahan agar bank lebih berani menyalurkan kredit ke sektor produktif.

Dampak kebijakan ini bagi masyarakat akan nyata jika kredit benar-benar mengalir ke sektor produktif, menciptakan lapangan kerja, peluang usaha, dan pelayanan publik yang lebih baik berkat peningkatan penerimaan pajak. Sebaliknya, jika gagal, Rp200 triliun hanya akan menjadi headline tanpa perubahan berarti dalam kehidupan sehari-hari.

Realokasi Rp200 triliun ini berpotensi menjadi terobosan fiskal jika didukung kebijakan kuat. Namun, tanpa penyaluran dan pengawasan yang efektif ke sektor riil serta perbaikan sistem perpajakan, kebijakan ini hanya akan menjadi manuver manajemen kas belaka.

Ringkasan

Pemerintah Indonesia memindahkan Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank BUMN untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil, guna memperbaiki basis fiskal dan meningkatkan rasio pajak yang masih rendah. Langkah ini diharapkan dapat menggerakkan ekonomi melalui peningkatan investasi dan konsumsi, serta memperluas basis pajak.

Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada penyaluran kredit yang efektif ke sektor produktif, terutama UMKM, serta pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan dana. Tantangannya adalah memastikan dana tersebut benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan penerimaan pajak, bukan hanya menjadi manajemen kas semata.

Tinggalkan komentar