Sebuah klaim mengejutkan kembali muncul di platform dark forum, di mana akun bernama Bjorka mengaku telah menguasai 128 juta data SIM card penduduk Indonesia. Klaim ini segera menarik perhatian, meskipun para ahli teknologi informasi (IT) mengisyaratkan bahwa isu ini bukan merupakan kejadian baru melainkan potensi kasus lama yang terulang kembali.
Informasi mengenai dugaan kebocoran data SIM card ini pertama kali tersebar luas melalui akun TikTok @hens4308. Data yang dibagikan oleh Bjorka di dark web tersebut terdeteksi dalam format .SQL, dengan total kapasitas mencapai 26 GB, yang dapat diperkecil menjadi 8 GB setelah dikompresi. Detail yang diklaim bocor sangat sensitif, meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor ponsel, nama operator seluler, hingga tanggal registrasi kartu. Bahkan, akun TikTok tersebut secara spesifik menyebutkan bahwa kontak politikus Roy Suryo turut menjadi bagian dari data yang disebarluaskan di forum gelap itu. Berdasarkan tangkapan layar, akun Bjorka diketahui telah terdaftar sejak dua tahun lalu, meskipun tidak ada informasi pasti apakah identitas akun ini mengalami perubahan nama.
Menyikapi klaim ini, Alfons Tanujaya, seorang Spesialis Keamanan Teknologi dari Vaksincom, memberikan pandangannya. “Itu data lama yang bocor. Bukan tidak valid, tetapi data yang sudah bocor di daur ulang seakan-akan bocor. Padahal sebelumnya memang sudah bocor,” terang Alfons kepada Katadata.co.id pada Selasa (21/10). Ia menambahkan, “Aneh isu ini diulang-ulang,” menunjukkan indikasi kuat bahwa publikasi ini adalah reinkarnasi dari insiden kebocoran data sebelumnya.
Baca juga:
- Kominfo Salahkan Penyelenggara soal Data SIMcard Bocor, Dukcapil Audit
- 1,3 Miliar Data SIM Card Disebut Bocor, Kominfo: 20% Sampel Valid
- Kominfo soal 1,3 Miliar Data SIM Card Bocor: Salah Penyelenggara
Pernyataan Alfons tersebut merujuk pada insiden besar yang terjadi pada tahun 2022, ketika jagat maya dihebohkan oleh bocornya 1,3 miliar data pendaftaran SIM card atau kartu ponsel di Indonesia. Kasus tersebut juga diungkapkan oleh pengguna Twitter yang membagikan tangkapan layar. Data yang diduga bocor kala itu mencakup NIK, nomor telepon, nama penyedia layanan (provider), dan tanggal pendaftaran. Penjual data, yang juga menggunakan nama akun @Bjorka, secara terbuka mengklaim bahwa informasi sensitif ini didapatkan langsung dari Kominfo (yang kini dikenal sebagai Komdigi).
Volume data yang bocor pada tahun 2022 jauh lebih besar, mencapai 87 GB. @Bjorka kala itu menetapkan harga penjualan sebesar US$ 50 ribu, dengan opsi pembayaran menggunakan mata uang kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Menanggapi kebocoran data SIM card yang lalu, Semuel Abrijani Pangerapan, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo pada tahun 2022, mengakui bahwa antara 15% hingga 20% dari sampel 1,3 miliar data yang diduga bocor tersebut memang valid.
Dalam pernyataannya, Semuel Abrijani Pangerapan menuding bahwa kebocoran tersebut adalah kesalahan dari “penyelenggara.” Namun, ia tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai pihak penyelenggara yang dimaksud. Terkait tanggung jawab pengelolaan data SIM card, para ahli informasi dan teknologi sebelumnya telah mengidentifikasi tiga pihak utama: Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kominfo, dan operator seluler. Peran ketiga pihak ini sangat krusial dalam menjaga integritas dan keamanan siber data pribadi jutaan penduduk Indonesia.
Ringkasan
Akun Bjorka kembali mengklaim telah menguasai 128 juta data SIM card penduduk Indonesia di dark forum. Informasi ini pertama kali tersebar melalui TikTok, dengan data yang diklaim mencakup NIK, nomor ponsel, nama operator, dan tanggal registrasi kartu dalam format .SQL berukuran 26GB (8GB setelah dikompresi), bahkan termasuk kontak politikus Roy Suryo.
Spesialis Keamanan Teknologi dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, berpendapat bahwa data tersebut adalah data lama yang bocor dan didaur ulang, merujuk pada insiden kebocoran 1,3 miliar data pendaftaran SIM card pada tahun 2022. Saat itu, data dijual dengan harga US$ 50 ribu oleh akun @Bjorka yang mengklaim data diperoleh dari Kominfo, dengan Dirjen Aptika Kominfo mengakui validitas sebagian sampel data tersebut.