Dominasi Kendaraan Listrik Cina di Asia Tenggara: Ancaman dan Peluang bagi Indonesia
Indonesia menjadi medan pertempuran utama dalam persaingan kendaraan listrik (EV) di Asia Tenggara, yang kini didominasi oleh produsen asal Tiongkok. Pertumbuhan pesat merek-merek EV Cina seperti BYD, Chery, dan Wuling tak hanya memicu transformasi sektor otomotif, tetapi juga menimbulkan dilema bagi industri otomotif konvensional di Indonesia. Penjualan kendaraan ringan di ASEAN-6 memang turun 5,4% pada tahun lalu menjadi 3,28 juta unit. Namun, di tengah penurunan tersebut, adopsi EV justru meningkat signifikan, melonjak dari 9% pada 2023 menjadi 13% pada 2024, sebagian besar didorong oleh merek-merek asal Cina.
Situasi ini paling terasa di Indonesia. Walaupun penjualan mobil secara keseluruhan mengalami penurunan 8,6% pada semester I-2025, produsen EV Cina justru menunjukkan pertumbuhan yang signifikan di pasar yang selama ini menjadi basis kuat produsen Jepang. Data Gaikindo pada Maret 2025 bahkan menunjukkan fakta mengejutkan: sepuluh merek EV terlaris di Indonesia seluruhnya berasal dari Cina, tanpa satu pun merek Jepang yang masuk daftar.
Kebijakan Tiongkok dan Keunggulan Kompetitif EV Cina
Keberhasilan EV Cina tak lepas dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang selama lebih dari satu dekade memberikan subsidi, insentif, dan dukungan industri yang masif. Hal ini telah menciptakan pasar EV terbesar di dunia dan skala ekonomi yang signifikan, mengakibatkan harga jual yang lebih terjangkau. Dibandingkan dengan kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE), EV memiliki struktur yang lebih sederhana; motor elektrik menggantikan mesin bensin, perangkat lunak menjadi kunci inovasi, dan baterai menjadi faktor penentu biaya dan performa. Kesederhanaan ini menurunkan hambatan masuk pasar dan memungkinkan perusahaan Cina untuk berkembang pesat, sementara produsen dari Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat masih berfokus pada teknologi hibrida atau hidrogen. Ketika gelombang EV global akhirnya tiba, Cina telah jauh melampaui kompetitornya.
Keunggulan ini kini meluas ke Asia Tenggara. Merek-merek Cina menawarkan harga yang kompetitif, rantai pasok baterai yang terintegrasi, dan kemampuan ekspansi yang cepat. Mereka juga menikmati keuntungan yang tidak mereka dapatkan di Eropa atau Amerika Serikat: hambatan politik yang lebih rendah di ASEAN, kedekatan geografis dengan Tiongkok selatan, dan pemerintah-pemerintah yang antusias menyambut investasi hijau.
Indonesia menjadi pasar yang paling menarik. Sebagai pasar otomotif terbesar di ASEAN, Indonesia menargetkan penetrasi EV sebesar 20% pada 2025 dan memiliki cadangan nikel yang melimpah. BYD, misalnya, telah menginvestasikan US$1,3 miliar untuk membangun pabrik di Subang, Jawa Barat, dengan kapasitas produksi 150.000 unit per tahun dan proyeksi penyerapan tenaga kerja sebanyak 18.000 pada akhir 2025. Produsen lain seperti GAC Aion dan Great Wall Motors juga telah memulai proyek serupa di Indonesia.
Pelajaran dari Thailand dan Ancaman “Cina Shock”
Indonesia dapat belajar dari pengalaman Thailand, pusat otomotif ASEAN yang kini tengah bertransisi cepat ke EV. Kendaraan Cina yang relatif murah kini menguasai lebih dari 70% pasar domestik Thailand, dengan BYD memimpin pangsa pasar sebesar 49% pada 2023. Situasi ini memicu persaingan harga yang ketat, mengakibatkan pemain lemah seperti Neta tersingkir; pangsa pasarnya anjlok dari 12% pada 2023 menjadi hanya 4% di awal 2025.
Kelebihan pasokan juga menekan skema produksi Thailand, memaksa perpanjangan tenggat waktu dan persyaratan yang lebih ketat. Banyak produsen komponen kecil bahkan gulung tikar karena EV membutuhkan komponen yang lebih sedikit, namun lebih canggih seperti baterai dan penggerak listrik. Analis memperingatkan akan adanya fenomena “Cina shock”. Pada 2024, EV dan produk murah Cina lainnya mencapai 1,4% dari total ekspor Tiongkok ke kawasan ini, melampaui aliran ekspor ke AS atau Uni Eropa. Tanpa pergeseran cepat menuju produksi komponen EV, Indonesia berisiko mengalami nasib serupa Thailand, di mana pemasok lemah runtuh dan yang bertahan menghadapi erosi pangsa pasar secara perlahan.
Strategi Indonesia Menghadapi Dominasi EV Cina
Bagi industri otomotif Indonesia, adaptasi menjadi kunci keberlangsungan. Gaikindo memproyeksikan penjualan akan meningkat menjadi 900.000 unit pada 2025 dari 865.723 unit pada 2024. Namun, pemulihan ini didorong oleh adopsi cepat EV yang terjangkau, bukan kendaraan ICE. Ironisnya, pemulihan ini, yang disambut gembira para dealer, justru bisa mempercepat tergerusnya pemasok lokal. Produsen tradisional Jepang tidak bisa lagi mengandalkan Indonesia sebagai pasar ICE semata.
Indonesia perlu mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, mempercepat kesiapan infrastruktur EV. Infrastruktur pengisian daya harus diperluas, perencanaan kota perlu disesuaikan untuk mendukung mobilitas listrik, dan pelatihan ulang bagi pekerja di industri ICE sangat penting. Kebijakan pemerintah harus fokus pada transfer teknologi, bukan hanya perakitan.
Kedua, kebijakan perlu dikalibrasi ulang untuk menyeimbangkan investasi global dengan pembangunan domestik. Aturan kandungan lokal 40% untuk EV adalah titik awal yang baik, menyeimbangkan dorongan partisipasi dalam negeri dengan daya tarik bagi investor asing. Ambang ini dapat ditingkatkan secara bertahap. Kemitraan dengan pemain global dari Cina, Amerika, atau Eropa mungkin diperlukan untuk mencapai skala produksi dan akses teknologi canggih.
Ketiga, pemasok Indonesia harus beradaptasi. Memang sulit bersaing di bidang baterai atau perangkat lunak, tetapi peluang masih terbuka di sektor lain seperti bodi kendaraan, ban, dan perakitan. Pemerintah dapat memberi insentif pada produksi baterai domestik dengan memanfaatkan keunggulan sumber daya nikel. Perubahan ini memang sulit, tetapi keengganan untuk berubah akan berakibat fatal.
Kesimpulan: Antara Ancaman dan Peluang
Bisakah ASEAN menghadapi “Cina shock” secara kolektif? Secara realistis, sulit. Setiap negara memiliki strategi berbeda. Peluang terbaik Indonesia adalah menjadi pemimpin regional dengan memanfaatkan pasar, sumber daya, dan cadangan nikel untuk menjadi pusat EV di kawasan ini, serta mengambil peran selektif dalam rantai pasok komponen global.
Kendaraan listrik Cina hadir untuk jangka panjang. Bagi Indonesia, ini adalah ancaman sekaligus peluang. Tanpa perubahan, industri otomotif konvensional berisiko tersingkir. Namun, dengan strategi yang tepat, Indonesia berpotensi menjadi kekuatan regional di era kendaraan listrik.
Baca juga:
- Gaikindo Waswas Mobil Listrik Gerus Lapangan Kerja Industri Otomotif
- Pangsa Pasar Mobil Listrik Dunia Capai 40% di 2030, Terbanyak dari Cina
- Manuver Astra International (ASII) di Tengah Gempuran Mobil Listrik Cina
Ringkasan
Dominasi kendaraan listrik (EV) Cina di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menimbulkan ancaman bagi industri otomotif konvensional. Pertumbuhan pesat merek-merek EV Cina seperti BYD dan Wuling, didukung kebijakan pemerintah Tiongkok yang memberikan subsidi dan insentif, menciptakan harga jual yang lebih terjangkau dan mengakibatkan penurunan penjualan mobil konvensional, bahkan merek Jepang tergusur dari sepuluh besar EV terlaris di Indonesia.
Indonesia perlu strategi adaptasi yang tepat untuk menghadapi “Cina shock”. Langkah strategis meliputi percepatan infrastruktur pengisian daya, penyesuaian kebijakan untuk menyeimbangkan investasi global dengan pembangunan domestik, serta adaptasi pemasok lokal dengan fokus pada sektor lain selain baterai dan perangkat lunak. Kesuksesan bergantung pada kemampuan Indonesia memanfaatkan keunggulan sumber daya nikel dan menjadi pusat EV regional.