BI Rate Turun: Kapan Manfaatnya Sampai ke Rakyat?

Babaumma – Sepanjang tahun 2025, Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Langkah ini diambil mengingat masih adanya ruang untuk pelonggaran moneter dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum mencapai potensi maksimalnya.

Faktor utama di balik pelonggaran ini, menurut Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank, adalah inflasi yang terkendali dan berada dalam sasaran 2,5 persen plus-minus 1 persen. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat sebesar 2,31 persen, sementara inflasi inti mencapai 2,17 persen. Proyeksi inflasi untuk tahun ini dan tahun depan pun tetap berada dalam target. Stabilitas nilai tukar rupiah juga relatif terjaga, didukung oleh cadangan devisa yang besar dan kebijakan stabilisasi yang aktif. “Dengan pondasi ekonomi yang kuat ini, pemangkasan suku bunga berulang menjadi lebih aman dibandingkan jika inflasi tinggi atau rupiah tertekan,” jelas Josua kepada Jawa Pos, Kamis (18/9).

Namun, terdapat tantangan yang perlu diperhatikan. Permintaan domestik belum sepenuhnya pulih. Keyakinan konsumen, terutama kelas menengah ke bawah, melemah. Pembukaan lapangan kerja masih terbatas, dan banyak pelaku usaha masih bersikap wait and see. Pertumbuhan kredit perbankan pun belum sesuai harapan, dengan angka undisbursed loan (dana kredit yang telah disetujui tetapi belum dicairkan) yang masih cukup tinggi. “Ini menunjukkan bahwa kendala bukan pada ketersediaan pembiayaan, melainkan pada tingginya biaya dana (cost of fund) dan rendahnya minat investasi,” ungkap Josua.

Oleh karena itu, penurunan suku bunga menjadi strategi tepat untuk menurunkan biaya dana dan mendorong penyaluran kredit serta pembiayaan. Penurunan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps bertujuan mempercepat transmisi penurunan suku bunga ke sektor perbankan. BI mencatat bahwa penurunan suku bunga perbankan masih terlalu lambat; suku bunga deposito 1 bulan baru turun sekitar 16 bps, dan suku bunga kredit hanya turun 7 bps, meskipun suku bunga kebijakan sudah turun signifikan, demikian pula imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) dan suku bunga pasar uang.

Dengan menurunkan batas bawah suku bunga melalui Deposit Facility, diharapkan insentif bank untuk memberikan bunga simpanan tinggi akan berkurang, dan praktik pemberian bunga spesial untuk deposan besar pun akan menyempit. Hal ini akan mempercepat penurunan biaya dana perbankan. “Langkah ini juga didukung oleh pelonggaran likuiditas melalui penurunan posisi instrumen moneter dan pembelian SBN secara terukur, agar bank tetap memiliki cukup likuiditas saat menurunkan bunga,” tambah Josua, alumnus University of Amsterdam.

Meskipun demikian, Josua menekankan pentingnya kehati-hatian. Terdapat tiga potensi risiko: pertama, tekanan harga pangan akibat gangguan pasokan atau peningkatan permintaan dapat mengurangi ruang pelonggaran moneter. Kedua, dorongan fiskal yang pro-pertumbuhan, termasuk penempatan dana pemerintah di bank untuk memperkuat likuiditas, dapat menambah tekanan harga jika tidak diimbangi peningkatan pasokan barang dan jasa. “Meskipun dampaknya terhadap inflasi diperkirakan terbatas, namun tetap nyata,” ujarnya. Ketiga, ketidakpastian regulasi sektor keuangan dapat memengaruhi persepsi pasar dan arus modal. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat adalah penyesuaian suku bunga secara bertahap, dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar dan dinamika inflasi aktual.

Kesimpulannya, Josua menilai penurunan BI rate merupakan keputusan yang tepat. Langkah ini diharapkan dapat menurunkan biaya dana, mempercepat penurunan suku bunga kredit, dan mendorong pemulihan konsumsi dan investasi. Konsistensi BI dalam menjaga stabilitas rupiah, kelanjutan kebijakan operasi moneter yang pro-pasar, dan sinergi yang kuat dengan kebijakan fiskal menjadi kunci keberhasilan upaya ini. “Agar manfaat pemangkasan suku bunga ini benar-benar dirasakan sektor usaha dan rumah tangga tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi yang telah dibangun,” tegasnya.

Pertumbuhan kredit perbankan tetap menjadi fokus utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia (BI) memastikan ketahanan perbankan tetap kuat dan mendukung stabilitas sistem keuangan. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa pertumbuhan kredit perbankan pada Agustus 2025 belum optimal, meskipun meningkat dari 7,03 persen (YoY) pada Juli menjadi 7,56 persen (YoY) pada Agustus 2025. “Dari sisi permintaan, belum kuatnya perkembangan kredit dipengaruhi oleh sikap menunggu pelaku usaha (wait and see), suku bunga kredit yang masih tinggi, dan lebih besarnya pemanfaatan dana internal untuk pembiayaan usahanya,” jelasnya dalam paparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (17/9).

Kondisi ini menyebabkan rasio undisbursed loan mencapai Rp 2.372,11 triliun atau 22,71 persen dari plafon kredit yang tersedia. Rasio tertinggi terdapat pada sektor industri, pertambangan, jasa dunia usaha, dan perdagangan, terutama untuk jenis kredit modal kerja. Dari sisi penawaran, kenaikan kredit didukung oleh likuiditas perbankan yang longgar, tercermin dari Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25 persen pada Agustus 2025. Hal ini sejalan dengan ekspansi likuiditas moneter dan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) BI. “Namun, tingginya suku bunga kredit masih menjadi faktor penghambat peningkatan kredit/pembiayaan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” ungkap Perry.

BI mendorong bank untuk menyalurkan kredit/pembiayaan dan memprakirakan pertumbuhan kredit perbankan pada 2025 berada di kisaran 8-11 persen. BI juga mencatat permodalan perbankan yang terjaga pada level tinggi, likuiditas yang memadai, dan risiko kredit yang rendah. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan pada Juli 2025 tetap tinggi sebesar 25,88 persen, dan rasio kredit bermasalah (NPL) terjaga rendah sebesar 2,28 persen (bruto) dan 0,86 persen (neto). “Hasil stress test Bank Indonesia juga menunjukkan ketahanan perbankan tetap kuat, ditopang oleh kemampuan membayar dan profitabilitas korporasi yang terjaga,” pungkas Perry.

Ringkasan

Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 bps sepanjang 2025 karena inflasi terkendali dan nilai tukar rupiah stabil. Penurunan ini bertujuan menurunkan biaya dana perbankan, mendorong penyaluran kredit, dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, permintaan domestik masih lemah, dan penurunan suku bunga kredit belum signifikan, menunjukkan tantangan dalam transmisi kebijakan moneter.

Meskipun BI optimistis dengan langkah ini, pertumbuhan kredit perbankan masih di bawah harapan, dengan rasio undisbursed loan yang tinggi. BI mendorong bank untuk menyalurkan kredit dan menekankan pentingnya kehati-hatian menghadapi potensi risiko seperti tekanan harga pangan dan ketidakpastian regulasi. Keberhasilan penurunan BI rate bergantung pada konsistensi kebijakan moneter dan sinergi dengan kebijakan fiskal.

Tinggalkan komentar