Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menegaskan belum ada rencana untuk membatasi ekspor kelapa bulat dalam waktu dekat. Namun, pemerintah berkomitmen untuk menjamin distribusi kelapa bulat di dalam negeri agar lebih merata, mengingat tingginya permintaan dan harga yang menguntungkan di pasar internasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor kelapa dalam kulit mencapai US$ 45,6 juta dan daging kelapa kering US$ 5,9 juta pada kuartal pertama tahun ini. China menjadi pasar ekspor utama, menyerap kelapa bulat Indonesia senilai US$ 43,1 juta. “Ekspor kelapa bulat memang menguntungkan petani saat ini karena harga yang tinggi di pasar luar negeri,” ujar Menteri Budi Santoso di kantornya, Jumat (22/8). Fenomena ini, menurutnya, terbilang baru.
Meski demikian, Menteri Budi mengakui peningkatan harga kelapa bulat di dalam negeri, khususnya di Indonesia bagian barat, sebagai dampak dari meningkatnya permintaan ekspor. Untuk mengatasi disparitas ini, pemerintah akan fokus pada redistribusi kelapa bulat dari wilayah timur ke wilayah barat. Strategi ini, menurutnya, telah disosialisasikan kepada pemerintah daerah. “Dengan demikian, perdagangan kelapa bulat di dalam dan luar negeri dapat berjalan beriringan, dan semua pihak dapat merasakan manfaatnya,” tambahnya.
Meskipun Kementerian Pertanian sebelumnya berencana mengusulkan pembatasan ekspor kelapa bulat pada Juni 2025, Menteri Budi menyatakan belum menerima usulan tersebut. Sebaliknya, rencana pengenaan pungutan ekspor kelapa bulat tengah dikaji. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, menjelaskan rencana ini bertujuan untuk mengendalikan volume ekspor dan mengamankan pasokan untuk industri dalam negeri.
Pemerintah, seperti yang diterapkan pada kelapa sawit, akan memberlakukan pungutan ekspor yang ditangani oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), berbeda dengan bea keluar yang dikelola Kementerian Keuangan. Besaran pungutan ekspor kelapa bulat masih dalam tahap pengaturan di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, mempertimbangkan kebutuhan dalam negeri dan dinamika pasar. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2025 yang menetapkan pungutan ekspor 10% untuk semua bentuk kelapa sawit, menjadi acuan yang akan disesuaikan untuk komoditas kelapa bulat.
Pergeseran pola konsumsi di China, yang meningkatkan permintaan kelapa bulat, menjadi faktor pendorong utama. Pengenaan pungutan ekspor, meskipun berpotensi menurunkan daya saing di pasar global, dinilai penting untuk memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan kelapa bulat di dalam negeri. Dengan demikian, pemerintah berupaya menyeimbangkan kepentingan petani, industri dalam negeri, dan pasar ekspor.
Baca juga:
- Industri Kelapa Sawit hingga Tekstil Terancam Terpukul Akibat Tarif AS 32%
- Cina Borong Kelapa Bulat, RI Siapkan Pungutan Ekspor Demi Lindungi Pasar Lokal
- Moratorium Dibatalkan, Pemerintah akan Tetapkan Pungutan Ekspor Kelapa Pekan Ini
Ringkasan
Pemerintah memastikan ekspor kelapa bulat tetap berjalan tanpa pembatasan dalam waktu dekat, meskipun harga tinggi di pasar internasional dan peningkatan permintaan di dalam negeri, khususnya di wilayah barat Indonesia, perlu diatasi. Untuk menjaga keseimbangan, pemerintah fokus pada redistribusi kelapa bulat dari timur ke barat dan tengah mengkaji rencana pengenaan pungutan ekspor, bukan pembatasan, untuk mengendalikan volume ekspor dan mengamankan pasokan dalam negeri.
Pungutan ekspor kelapa bulat, yang mekanismenya akan mirip dengan pungutan ekspor kelapa sawit dan dikelola oleh BPDPKS, masih dalam tahap pengaturan. Besaran pungutan akan mempertimbangkan kebutuhan dalam negeri dan dinamika pasar internasional, terutama dari China yang menjadi pasar ekspor utama. Tujuannya adalah menyeimbangkan kepentingan petani, industri dalam negeri, dan pasar ekspor.