Indonesia baru-baru ini dihadapkan pada serangkaian insiden kekerasan yang melibatkan aparat keamanan negara. Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek yang terlindas kendaraan taktis Brimob, penangkapan aktivis pro-demokrasi, dan penyerangan kampus di Bandung, menjadi contoh nyata. Kejadian-kejadian ini mengisyaratkan praktik terorisme negara (state terrorism), sebuah fenomena yang patut mendapat perhatian serius.
Richard Jackson (2010), pakar politik, keamanan, dan terorisme, mendefinisikan terorisme negara sebagai penggunaan ancaman, paksaan, dan kekerasan oleh aktor negara – baik sipil, keamanan, maupun pejabat politik – untuk mengintimidasi dan menebar ketakutan di kalangan masyarakat sipil. Kekerasan negara, meliputi penggunaan senjata, pembunuhan, penculikan, penghilangan paksa, dan penganiayaan, kerap menjadi alat sistematis untuk mempertahankan status quo politik. Praktik ini lazim digunakan untuk melindungi rezim konservatif atau populis, seringkali menargetkan kelompok oposisi yang kritis dan menolak tunduk pada otoritas yang berkuasa. Ironisnya, negara menempatkan dirinya sebagai musuh bagi rakyatnya sendiri.
Mengapa Terorisme Negara Terjadi? Terdapat beberapa faktor penyebab. Pertama, kekerasan menjadi mekanisme pelepasan frustasi atas ketidakmampuan negara dalam mengatasi masalah ekonomi kronis, terutama di negara otoriter. Rezim, alih-alih memperbaiki perekonomian, lebih memilih menggunakan kekerasan untuk menjaga wibawa, cara yang lebih mudah daripada merancang kebijakan ekonomi jangka panjang yang membutuhkan kerja keras dan sumber daya terbatas. Studi ekonomi politik menunjukkan bahwa rezim otoriter memang rentan terhadap krisis ekonomi karena minimnya akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Kedua, terorisme negara bertujuan menciptakan ketakutan kolektif sebagai norma sosial. Ruth Blakely, akademisi terorisme negara, menjelaskan bahwa terorisme negara bukan hanya soal menghancurkan target (aktivis atau kelompok oposisi), tetapi juga untuk menebar ketakutan pada masyarakat luas, memaksa kepatuhan buta. Menargetkan beberapa kelompok saja sudah cukup untuk menciptakan efek domino kecemasan di seluruh populasi.
Sepanjang sejarah, terorisme negara selalu kejam. Dahulu, hukuman fisik seperti pemotongan tangan atau cambuk diiringi dengan penayangan publik untuk mengintimidasi. Praktik serupa masih terjadi saat ini, dengan penangkapan dan penayangan publik individu yang dianggap menentang negara. Terorisme negara jauh lebih berbahaya daripada terorisme non-negara karena didukung struktur kekuasaan yang kuat, sumber daya melimpah, serta beroperasi di tengah sistem hukum yang lemah dan minimnya kontrol sipil. UU Polri yang memberikan ruang luas bagi kontrol polisi atas sipil, misalnya, justru memperparah siklus kekerasan.
Pengalaman Amerika Latin di tahun 1980-an mencerminkan situasi di Indonesia, baik Orde Baru maupun saat ini. Organisasi HAM mendokumentasikan terorisme negara yang meliputi penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan, dan pemenjaraan tanpa proses hukum. Reformasi 1998 rupanya tak membawa perubahan fundamental.
Kajian Adhi Priamarizki (2019), “old wine in a new bottle”, mengungkap kegagalan reformasi aparat. Negara menggunakan teror untuk membungkam suara kritis, sementara kultur korup Orde Baru hanya berganti tampilan. Profesionalisme aparat hanya slogan, bukan praktik. Reformasi terhambat karena mengganggu akses elit ekonomi, politik, dan militer terhadap sumber daya yang diperoleh melalui praktik korup.
Terorisme negara melanggar kontrak sosial, mengancam legitimasi negara – elemen vital dalam demokrasi.
Kegagalan Pelembagaan Demokrasi Demokrasi bukan hanya soal pemilu yang jujur dan adil. Juan Linz menekankan pentingnya pengelolaan konflik dan perbedaan pendapat melalui pelembagaan yang baik, berorientasi pada minimalisasi kekerasan. Penembakan kampus di Bandung merupakan contoh nyata pelanggaran atas asas kesetaraan dalam negara hukum. Pasal 8 dan 54 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Kebebasan Akademik menjamin otonomi kampus, yang diabaikan oleh tindakan negara. Negara bertindak di luar hukum, melanggar Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945.
Pelembagaan demokrasi di Indonesia masih lemah, hanya sebatas pemilu sebagai prasyarat minimum, tanpa menyentuh aspek kelembagaan yang substansial. Pengelolaan konflik yang militeristik dan otoriter hanya akan memperuncing friksi antara masyarakat dan negara, berujung pada krisis politik dan HAM, bahkan berpotensi menuju failed state atau collapsed state. Demokrasi membutuhkan dialog dan governance by reasons, bukan keputusan sewenang-wenang.
Tantangan Masyarakat Sipil: Apa yang Harus Diperbuat? Rakyat berhak melawan kekerasan negara. Aktivisme warga yang deliberatif, konsisten, massif, dan berkesinambungan, dibutuhkan untuk memperjuangkan tuntutan 17+8 warga sipil. Namun, beberapa tantangan harus dihadapi.
Pertama, akses informasi dan kebenaran harus dijamin. Kedua, ruang kebebasan sipil harus dipertahankan. Ketiga, jejaring solidaritas lintas sektor dan negara perlu diperkuat. Jika hukum diabaikan negara, pembangkangan sipil, seperti penolakan membayar pajak, bisa menjadi pilihan. Aktivisme sipil harus menjadi gerakan jangka panjang yang berakar pada pencarian kebenaran, pembelaan kebebasan, dan perlawanan terhadap represi negara untuk menegaskan kembali posisi rakyat sebagai penentu arah demokrasi.
Ringkasan
Indonesia menghadapi peningkatan kekerasan negara, ditandai dengan kematian warga sipil akibat tindakan aparat, penangkapan aktivis, dan penyerangan kampus. Hal ini mencerminkan terorisme negara, penggunaan kekerasan oleh negara untuk mengintimidasi masyarakat dan mempertahankan kekuasaan, seringkali dipicu oleh krisis ekonomi dan untuk membungkam oposisi. Praktik ini, yang melanggar hak asasi manusia dan hukum, telah terjadi berulang kali, bahkan pasca reformasi 1998, menunjukkan lemahnya pelembagaan demokrasi di Indonesia.
Penyebabnya antara lain ketidakmampuan negara mengatasi masalah ekonomi dan keinginan menciptakan rasa takut di masyarakat. Reformasi hukum dan penegakan hukum yang lemah turut memperparah situasi. Masyarakat sipil perlu melawan kekerasan negara melalui aktivisme yang berkesinambungan, menjaga akses informasi, memperkuat solidaritas, dan memperjuangkan kebebasan sipil untuk mencegah negara menjadi otoriter dan memastikan demokrasi berjalan sesuai prinsipnya.