Pembiayaan Hijau: Solusi Lingkungan & Bisnis Berkelanjutan

Katadata, berkolaborasi dengan sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO), baru-baru ini menyelenggarakan diskusi krusial tentang potensi dan tantangan investasi dalam pembiayaan ekosistem dan kelestarian lingkungan di Indonesia. Diskusi tersebut, yang merupakan bagian dari Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) 2025, mengungkap peluang menarik dalam model pendanaan yang menempatkan masyarakat sebagai pilar utama pembangunan hijau.

Bertajuk “Green Resilience by Protection: Unlocking Ecosystem-Based Financing to Secure Indonesia’s Living Ecoscapes,” diskusi ini digelar di Jakarta pada 10 September 2025. SAFE sendiri merupakan forum tahunan strategis yang telah berlangsung sejak 2020, menjadi acara unggulan Katadata Indonesia dalam mendorong transisi ke ekonomi berkelanjutan. SAFE 2025, yang berlangsung selama dua hari (10-11 September 2025), mengangkat tema “Green for Resilience,” sebagai respons terhadap tantangan krisis iklim dan dinamika global yang semakin kompleks, sekaligus menegaskan pentingnya ekonomi hijau bagi ketahanan dan keberlanjutan pembangunan nasional.

Para pembicara terkemuka turut hadir dalam sesi diskusi ini, antara lain Saskia Tjokro (Director ANGIN Advisory), Thomas Veriasa (Direktur Eksekutif LATIN), Desta Pratama (Direktur Conservation Strategy Fund Indonesia), dan Damayanti Ratunanda (Direktur Penyaluran Dana Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup/BPDLH). Sesi workshop yang dinamis ini dimoderatori oleh Irma Chantily, Co-Chair Working Group Enabler Pipeline Koalisi Ekonomi Membumi.

ANGIN Advisory, melalui presentasinya, memaparkan dampak positif dari pemberdayaan usaha mikro di sekitar hutan, yang difasilitasi oleh organisasi masyarakat sipil. Usaha-usaha ini mencakup beragam sektor, seperti ekowisata, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan agroforestri. Namun, Saskia Tjokro menekankan tantangan yang dihadapi: “Data internal kami menunjukkan, dari seratus pengusaha yang kami latih, hanya empat yang benar-benar berhasil. Tapi, ini bukan alasan untuk berhenti,” ujarnya, menunjukkan kegigihan dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Lebih lanjut, ANGIN Advisory juga menyoroti rendahnya komitmen manajer aset di Indonesia terhadap Prinsip-Prinsip Investasi yang Bertanggung Jawab (UN Principles for Responsible Investment), dengan kurang dari 10 manajer aset yang sepenuhnya berkomitmen. Meskipun beberapa pemilik aset telah mengalokasikan dana ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam kebijakan investasi mereka (0,5-2%), hal ini seringkali didorong oleh regulator dan investor, bukan inisiatif internal.

Saskia juga menyoroti tren pendanaan restorasi dan perlindungan hutan, menunjukkan kecenderungan pendanaan yang lebih besar untuk proyek restorasi dibandingkan proteksi hutan yang ada. “Proteksi, artinya melindungi hutan yang masih ada, mendapat pendanaan yang tidak sebanding dengan restorasi,” jelasnya, mengungkapkan ketidakseimbangan dalam alokasi dana. ANGIN Advisory sendiri fokus pada investasi tahap awal untuk pembangunan berkelanjutan, kewirausahaan, dan dampak sosial.

Desta Pratama, dalam pemaparannya, menyatakan bahwa instrumen pembiayaan proyek hijau kini semakin beragam, termasuk market based financing, blended financing, dan sustainable government financing. Ia juga mengakui adanya peningkatan regulasi investasi dibandingkan 10-15 tahun lalu. Namun, tantangan utama tetap pada peningkatan skala pembiayaan berkelanjutan, dari sekadar kerangka kerja menuju dampak nyata di lapangan.

Thomas Veriasa menambahkan pentingnya perencanaan model bisnis yang solid, khususnya untuk perhutanan sosial, serta implementasi social engineering yang komprehensif. Pengukuran dan evaluasi yang spesifik terhadap dampak ekonomi dan sosial juga menjadi krusial.

Damayanti Ratunanda, mewakili pemerintah, menjelaskan portofolio pendanaan hijau yang berasal dari berbagai sumber, termasuk dana abadi, hibah, dan dana donor. Pemerintah juga mengembangkan Fasilitas Dana Bergulir (FDB) usaha kehutanan untuk mendukung penguatan usaha masyarakat hutan. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

Ringkasan

Diskusi “Green Resilience by Protection” dalam Katadata SAFE 2025 membahas potensi dan tantangan pembiayaan ekosistem di Indonesia. Diskusi melibatkan berbagai pembicara, termasuk ANGIN Advisory yang menyoroti keberhasilan terbatas pemberdayaan usaha mikro sekitar hutan, serta rendahnya komitmen manajer aset terhadap Prinsip-Prinsip Investasi yang Bertanggung Jawab dan ketidakseimbangan pendanaan antara restorasi dan proteksi hutan. Para pembicara juga menekankan perlunya peningkatan skala pembiayaan berkelanjutan dan perencanaan model bisnis yang kuat.

Berbagai instrumen pembiayaan hijau, seperti market based financing dan blended financing, dibahas sebagai solusi. Pemerintah, diwakili oleh BPDLH, memaparkan portofolio pendanaan hijau mereka yang mencakup dana abadi, hibah, dan Fasilitas Dana Bergulir usaha kehutanan. Tantangan utama yang diidentifikasi adalah bagaimana menerjemahkan kerangka kerja pembiayaan hijau menjadi dampak nyata di lapangan, melibatkan peran aktif masyarakat dan pengukuran dampak ekonomi dan sosial yang komprehensif.

Tinggalkan komentar