Nepal, negara pegunungan di Himalaya yang terkurung daratan, tengah menghadapi krisis multidimensi. Sejak 2008, negara ini telah mengalami 14 pergantian pemerintahan, tak satu pun yang mampu menyelesaikan masa jabatan lima tahun penuh. Awalnya berupa demonstrasi damai, situasi kemudian memburuk menjadi kerusuhan dengan pembakaran hotel dan kantor pemerintahan. Larangan penggunaan media sosial, meskipun sering disebut sebagai pemicu utama, hanyalah puncak dari permasalahan yang lebih dalam: kebutuhan dasar rakyat yang tak terpenuhi. Kenaikan harga pangan, minimnya lapangan kerja, dan rendahnya kepercayaan terhadap elite politik menjadi bara yang siap menyulut gejolak sosial lebih besar.
Baca juga:
- Fenomena ‘Nepo Kids’, Salah Satu Pemicu Kemarahan dan Demonstrasi Nepal
- Alasan Nepal Blokir Instagram hingga WhatsApp, Picu Demo dan 19 Orang Tewas
- Dapat Dukungan Gen Z, Eks Ketua MA Sushila Karki akan Jadi PM Sementara Nepal
Kondisi geografis Nepal juga memperparah situasi. Sistem distribusi dan logistik yang buruk menghambat perekonomian. India, dengan perbatasan terbuka sepanjang 1.751 km, menjadi mitra dagang utama Nepal, menguasai 68% ekspor. Sebaliknya, ekspor ke Tiongkok hanya mencapai 1,7%, terkendala oleh akses sulit di jalur pegunungan sepanjang 1.389 km.
Pertanian dan Remitansi: Tulang Punggung Ekonomi Nepal
Nepal, negara berkembang yang relatif terisolasi hingga pertengahan abad ke-20, hingga kini sangat bergantung pada sektor pertanian dan remitansi. Sektor pertanian menyumbang sekitar 32% Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 65% tenaga kerja. Remitansi, yang diperkirakan mencapai US$11 miliar pada 2023 (meningkat 15% dari tahun sebelumnya), setara dengan 25% PDB – sebesar kontribusi bantuan internasional dan investasi gabungan. Sekitar 3,5 juta warga Nepal bekerja di luar negeri, mengirimkan uang yang pertumbuhannya sangat signifikan: dari US$1,2 miliar pada 2005 menjadi US$11 miliar pada 2023. Bahkan pandemi COVID-19 tak mampu menekan aliran remitansi ini, justru meningkat menjadi 33% dari PDB pada 2024. Fenomena ini mencerminkan tingginya angka pengangguran di Nepal, yang diperkirakan mencapai 12,6% (Badan Pusat Statistik Nepal) atau 10,7% (Statista.com), bahkan sempat mencapai 13% selama pandemi.
Ketimpangan: Akar Masalah yang Mengakar
Nepal memiliki tingkat ketimpangan yang sangat tinggi. Indeks Gini untuk pendapatan meningkat dari 0,49 (2010/2011) menjadi 0,58 (2019). 10% penduduk terkaya menguasai pendapatan setara dengan 40% penduduk termiskin, dengan pendapatan rata-rata tiga kali lipat. Ketimpangan ini lebih mencolok jika dilihat dari kepemilikan aset, di mana 10% terkaya memiliki aset 26 kali lebih besar daripada 40% termiskin. Data World Inequality Database menunjukkan bahwa 1% penduduk terkaya menguasai 25% kekayaan nasional, sementara 10% terkaya menguasai 59%. Saat ini, indeks Gini untuk pendapatan adalah 0,50, dan untuk kekayaan/aset mencapai 0,75. Ketimpangan ini, ditambah akses luas ke media sosial yang memperlihatkan perilaku elite yang dianggap abai dan korup, memicu kecemburuan sosial dan meningkatkan potensi konflik.
Pelajaran untuk Indonesia: Mengatasi Ketimpangan yang Tersembunyi
Indonesia dan Nepal memiliki kesamaan: ketimpangan. Meskipun indeks Gini Indonesia (berdasarkan pengeluaran) tercatat 0,38, data World Inequality Database menunjukkan angka yang lebih tinggi: 0,58 untuk pendapatan dan 0,76 untuk kekayaan. Meskipun data ini diperoleh melalui metode imputasi karena keterbatasan data, data tersebut tetap memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Meskipun demonstrasi di Indonesia telah mereda dan tidak separah di Nepal, potensi gejolak serupa tetap ada jika ketimpangan tidak diatasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tak berarti jika tidak inklusif dan tidak dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Prinsip “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dalam Pancasila harus diwujudkan.
Ringkasan
Nepal menghadapi krisis multidimensi akibat ketimpangan yang tinggi. Instabilitas politik dengan pergantian pemerintahan yang sering, ditambah dengan kebutuhan dasar rakyat yang tak terpenuhi seperti harga pangan yang tinggi dan minimnya lapangan kerja, memicu demonstrasi dan kerusuhan. Kondisi geografis yang sulit juga memperparah masalah ekonomi, terutama ketergantungan pada India dan rendahnya ekspor ke Tiongkok.
Ekonomi Nepal sangat bergantung pada pertanian dan remitansi dari warga negara yang bekerja di luar negeri. Meskipun remitansi meningkat signifikan, hal ini juga menunjukkan tingginya angka pengangguran dan ketimpangan yang ekstrem. Indeks Gini yang tinggi menunjukkan kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang besar antara penduduk kaya dan miskin. Ketimpangan ini, dikombinasikan dengan akses mudah ke media sosial, memicu kecemburuan sosial dan potensi konflik yang besar, memberikan pelajaran berharga bagi negara lain, termasuk Indonesia, untuk mengatasi ketimpangan yang tersembunyi.