Berbagai negara di dunia secara strategis telah berupaya melindungi perekonomian mereka. Namun, patut dicatat bahwa perlindungan ini seringkali diimbangi dengan keterbukaan ekonomi intensif terhadap persaingan global secara selektif. Pendekatan ini melahirkan nasionalisme ekonomi yang mampu mendorong peningkatan kapabilitas dan produktivitas, bukan sekadar melanggengkan praktik-praktik yang sebenarnya tidak efisien.
Mengedepankan nasionalisme ekonomi bukanlah tindakan yang keliru atau terlarang. Kedaulatan dan kebanggaan akan kapasitas domestik adalah tujuan pembangunan yang sah dan fundamental. Bahkan, di tengah gejolak dan ketidakpastian ekonomi global saat ini, kebanggaan nasional dapat menjadi pemicu utama peningkatan aktivitas industri, sekaligus memperkuat keamanan dan ketahanan ekonomi bangsa.
Namun demikian, nasionalisme ekonomi dapat dengan cepat memicu risiko merusak apabila upaya melindungi sektor domestik justru mengalahkan kebutuhan esensial untuk menciptakan daya saing. Nasionalisme yang demikian berpotensi merusak produktivitas ekonomi secara keseluruhan. Inilah titik krusial yang harus dihindari agar tidak membebani langkah Indonesia dalam memacu produktivitasnya.
Risiko terhadap Produktivitas
Selama masa kepresidenannya, Joko Widodo dikenal menerapkan doktrin ekonomi yang memadukan prinsip pasar bebas dengan intervensi negara yang agresif, termasuk melalui peran kuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Presiden Prabowo Subianto tampaknya akan melanjutkan fondasi ini, namun dengan kerangka nasionalisme yang lebih diperkuat. Hal ini, misalnya, tercermin dari peningkatan anggaran dan keterlibatan militer dalam program ekonomi, serta peluncuran program-program skala besar seperti Koperasi Merah Putih (KMP) dan Makan Bergizi Gratis (MBG). Dari berbagai sudut pandang, argumen populis tampak menjadi landasan utama di balik kebijakan-kebijakan tersebut.
Secara politik, inisiatif-inisiatif ini tentu saja menarik perhatian publik. Namun, dari perspektif ekonomi, hal-hal tersebut berpotensi menimbulkan risiko yang tidak sederhana. Sebagai contoh, ekspansi fiskal yang lebih condong pada program-program berorientasi konsumsi, alih-alih pada belanja yang meningkatkan produktivitas, dapat memicu inefisiensi yang sangat mahal. Ambil kasus perkebunan kelapa sawit yang “dikelola” oleh militer, yang dibingkai sebagai kebijakan krusial untuk mencapai swasembada pangan dan energi. Kebijakan semacam ini dikhawatirkan dapat menjadi beban berkepanjangan di masa depan, bahkan mungkin mengakibatkan kemerosotan produksi.
Data produktivitas agaknya sudah mulai merefleksikan risiko tersebut. McKinsey Global Institute (2025) melaporkan adanya kemerosotan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Antara tahun 2002-2016, produktivitas memang tumbuh, meskipun hanya sekitar 3% per tahun, namun angka ini dinilai cukup kuat untuk menopang transformasi struktural. Sayangnya, momentum tersebut kini telah hilang, dengan pertumbuhan produktivitas yang kini hanya berada di kisaran 2% per tahun.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), incremental capital output ratio (ICOR), yang merupakan salah satu metrik penting produktivitas, berada di atas 6 pada akhir tahun 2023. Sementara itu, target pemerintah untuk tahun 2028 adalah sekitar 4. Angka ini menyiratkan bahwa dibutuhkan upaya keras dan signifikan untuk menekan nilai ICOR tersebut.
Selain itu, total factor productivity (TFP)—sebuah indikator yang paling mendekati efisiensi ekonomi—juga menunjukkan pelemahan yang cepat. Perkiraan rata-rata TFP terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari Bank Indonesia (BI) untuk periode 2011-2019 hanyalah 1,37%. Padahal, berdasarkan hitungan pemerintah sendiri, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada periode 2025-2029, angka TFP ini harus meningkat tajam menjadi 3,61%.
Produktivitas yang rendah ini bukanlah sekadar deviasi statistik; ia menandakan pergeseran mendasar dalam model pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika hasil produksi lebih mengandalkan pasokan modal dan tenaga kerja daripada peningkatan efisiensi dan inovasi, maka pertumbuhan ekonomi menjadi mahal, lemah dalam sisi keberlanjutannya, dan lebih rentan terhadap guncangan. Bersamaan dengan itu, bayangan bonus demografi kian memudar, sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya tingkat pengangguran di kalangan muda. Sementara itu, banyak investasi infrastruktur, seperti proyek kereta cepat yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, dibiayai melalui pinjaman dan jaminan negara yang kini mulai menimbulkan persoalan pelunasannya.
Jelaslah bahwa pemulihan produktivitas sangat krusial untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang di atas 5% atau ke tingkat pertumbuhan potensial. Namun, jika tidak diterapkan dengan hati-hati, bauran kebijakan ekonomi yang saat ini diterapkan berpotensi gagal memulihkan produktivitas. Hal ini semakin relevan mengingat intensifikasi kebijakan nasionalis yang disertai populisme dalam doktrin ekonomi tidak akan mampu menjadi mesin sesungguhnya bagi produktivitas jangka panjang.
Studi yang dilakukan oleh Magistro & Menaldo (2025) mengungkapkan bahwa populisme tidak hanya gagal mendorong dinamisme ekonomi, tetapi justru secara aktif menumbuhkan inefisiensi. Sementara itu, Guriev & Papaionnou (2022) menunjukkan bahwa, dengan satu pengecualian penting pada Polandia, kinerja pemerintah populis sebagian besar mengalami performa yang jauh di bawah harapan, dan tidak mampu melampaui tolok ukur pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan.
Menuju yang Produktif
Pertanyaan strategis yang mendesak bagi Indonesia bukanlah apakah akan mengejar nasionalisme atau tidak, melainkan nasionalisme jenis apa yang sebenarnya dibutuhkan.
Nasionalisme yang buta terhadap pentingnya produktivitas berisiko menciptakan jebakan produktivitas yang ditimbulkan sendiri, yang justru dapat menghambat masa depan yang ingin diraih bangsa.
Oleh sebab itu, yang perlu dituju adalah nasionalisme yang mengutamakan produktivitas. Ini berarti nasionalisme yang mendorong daya saing global, bukan isolasi domestik; yang menggunakan BUMN untuk mengkatalisasi inovasi di sektor swasta, bukan justru mendesaknya keluar; yang menargetkan subsidi pada pembangunan kapabilitas di bidang teknologi, pendidikan, dan keterampilan; serta yang mampu menarik investasi dan talenta terbaik yang dapat meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai nilai global.
Pendekatan ini jauh lebih mungkin untuk memperkuat kebanggaan nasional dengan menghadirkan kenaikan upah, menciptakan pekerjaan berkualitas di sektor formal, dan mewujudkan kemakmuran yang berkelanjutan bagi seluruh rakyat. Sejarah juga berulang kali mengingatkan kita bahwa bangsa-bangsa menjadi besar dan makmur bukan karena kerasnya mereka memproteksi diri, tetapi oleh seberapa produktif mereka mampu tumbuh dan berinovasi.
Ringkasan
Artikel ini membahas tentang nasionalisme ekonomi dan pentingnya fokus pada produktivitas untuk kemajuan Indonesia. Nasionalisme ekonomi, jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu risiko merusak produktivitas jika upaya melindungi sektor domestik justru mengalahkan kebutuhan untuk menciptakan daya saing. Pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ekonomi agar tidak terjebak dalam inefisiensi dan kemerosotan produksi.
Studi menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia mengalami kemerosotan, dan indikator seperti ICOR dan TFP juga menunjukkan pelemahan. Untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang, Indonesia perlu fokus pada nasionalisme yang mendorong daya saing global, inovasi, dan investasi di bidang teknologi, pendidikan, dan keterampilan, bukan sekadar proteksi diri.