Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tanggal 6 Oktober. Regulasi penting ini merupakan perubahan keempat dari UU Nomor 19 tahun 2003 yang sebelumnya mengatur tentang BUMN, menandai babak baru dalam tata kelola perusahaan negara di Indonesia.
Salah satu pilar utama dari instrumen hukum yang baru ini adalah pembentukan Badan Pengaturan (BP) BUMN. Lembaga ini didirikan sebagai pengganti fungsi Kementerian BUMN yang selama ini menjadi regulator utama. Berdasarkan Pasal 3A, BP BUMN akan berkedudukan langsung di bawah dan bertanggung jawab penuh kepada presiden. BP BUMN bertindak sebagai lembaga pemerintah yang mengemban tugas sentral dalam menyelenggarakan pengaturan di bidang BUMN.
Lebih lanjut, Pasal 3B secara tegas mengatur peran sentral Kepala BP BUMN. Dalam kapasitasnya sebagai wakil Pemerintah Pusat dan regulator utama, Kepala BP BUMN memiliki mandat untuk menetapkan beragam kebijakan strategis, melakukan pengaturan, membina, serta mengawasi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan BUMN secara komprehensif.
Sebagai konsekuensi dari peran vital tersebut, UU ini juga memberikan 14 kewenangan khusus kepada Kepala BP BUMN, tentunya dengan persetujuan Presiden. Kewenangan-kewenangan ini mencakup spektrum yang luas, mulai dari menetapkan arah kebijakan umum BUMN, merumuskan kebijakan tata kelola BUMN, membentuk BUMN baru, hingga mengusulkan rencana Privatisasi BUMN tertentu yang dianggap perlu.
Perubahan signifikan lainnya terletak pada struktur kepemilikan negara atas BUMN. Menurut undang-undang teranyar ini, kepemilikan negara atas BUMN kini dibagi menjadi dua jenis saham. Pertama, 1% saham Seri A Dwiwarna yang secara eksklusif dipegang oleh Kepala BP BUMN, melambangkan kontrol strategis negara. Kedua, 99% saham Seri B yang dialihkan kepemilikannya kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Keberadaan Danantara sebagai entitas pengelola investasi menjadi krusial. Pasal 3G merinci bahwa modal Danantara dapat bersumber dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lain yang sah. Penyertaan modal negara ini bisa berasal dari dana tunai, barang milik negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau perolehan lain yang sah, serta saham milik negara. Yang tidak kalah penting, UU ini menetapkan bahwa modal Danantara paling sedikit harus bernilai Rp 1.000 triliun, menunjukkan skala ambisius dari lembaga ini.
Salah satu ketetapan paling baru dan menarik perhatian adalah ketentuan mengenai imunitas hukum. Kepala BP BUMN beserta organ dan pegawai Danantara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang terjadi. Namun, imunitas ini tidak mutlak. Syarat utamanya adalah bahwa organ dan pegawai yang bersangkutan harus mampu membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian mereka.
Ketentuan serupa mengenai pembebasan tanggung jawab juga berlaku apabila Kepala BP BUMN dan Danantara telah melaksanakan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian yang maksimal. Hal ini harus sejalan dengan maksud dan tujuan investasi yang telah ditetapkan, serta mematuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan dan bisnis yang baik.
Selain itu, imunitas hukum juga diberikan jika Kepala BP BUMN dan Danantara terbukti tidak memiliki benturan kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam tindakan pengelolaan investasi yang mereka lakukan. Kondisi terakhir adalah tidak adanya perolehan keuntungan pribadi secara tidak sah oleh pihak-pihak terkait. Ini menegaskan komitmen terhadap transparansi dan integritas dalam setiap keputusan investasi.
Ringkasan
UU Nomor 15 tahun 2025 tentang BUMN telah disahkan, menggantikan UU Nomor 19 tahun 2003. UU ini membentuk Badan Pengaturan (BP) BUMN yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, menggantikan peran Kementerian BUMN sebagai regulator utama. Kepala BP BUMN memiliki kewenangan luas, termasuk menetapkan kebijakan strategis dan mengawasi pengelolaan BUMN.
Struktur kepemilikan BUMN diubah dengan 1% saham Seri A Dwiwarna dipegang Kepala BP BUMN, dan 99% saham Seri B dialihkan ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Modal Danantara minimal Rp 1.000 triliun dan dapat bersumber dari APBN serta aset negara lainnya. Kepala BP BUMN dan organ Danantara mendapat imunitas hukum dengan syarat tertentu, seperti itikad baik, kehati-hatian, dan tanpa benturan kepentingan.