Sponsored

Prabowo-Gibran 1 Tahun: Pengusaha Cemas Pengangguran Melonjak!

Di tengah mendekatnya satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kekhawatiran mendalam menyelimuti kalangan pengusaha di Tanah Air. Salah satu isu krusial yang paling meresahkan adalah lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK), sebuah fenomena yang disoroti oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar.

Sponsored

Menurut Sanny, para pengusaha, terutama yang berskala besar, merasakan kegelisahan yang signifikan akibat maraknya gelombang PHK saat ini. Kondisi ini, jelasnya, merupakan sebuah siklus yang muncul dari kurangnya daya saing industri. Pernyataan ini disampaikan Sanny dalam acara Katadata Policy Dialogue bertajuk “Satu Tahun Prabowo-Gibran” di Jakarta pada Selasa (21/10).

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menguatkan kekhawatiran tersebut, dengan mencatat total PHK mencapai 42.385 orang hingga Juni 2025. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 32% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, mengindikasikan eskalasi masalah yang perlu segera ditangani.

Sanny melanjutkan, tren peningkatan PHK ini secara langsung berkorelasi dengan angka pengangguran yang kian merangkak naik, yang pada gilirannya dapat memicu berbagai “gangguan-gangguan hidup” dalam masyarakat. Situasi ini bukan hanya permasalahan ekonomi, melainkan juga berpotensi menimbulkan dampak sosial yang lebih luas.

Terhambatnya kemampuan ekonomi masyarakat akibat PHK dan pengangguran yang meningkat turut menghambat gairah investasi dan minat usaha. Sanny mengamati bahwa banyak pelaku usaha kini cenderung menunda atau bahkan mengurungkan niat mereka untuk memulai atau mengembangkan kegiatan bisnis di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi saat ini, yang tentu saja semakin memperlambat laju perekonomian.

Kebutuhan Sektor Industri Baru dan Perbaikan Data Pemerintah

Sanny juga menyoroti bahwa banyak sektor industri eksisting kini memiliki kapasitas penyerapan tenaga kerja yang minim, sebuah konsekuensi langsung dari adopsi masif teknologi digital dan robotik. Oleh karena itu, ia menekankan urgensi untuk mendorong pertumbuhan sektor industri baru yang mampu menciptakan lapangan kerja lebih banyak dan relevan dengan dinamika ekonomi masa depan.

Sudah tidak relevan lagi, lanjut Sanny, untuk berharap pada penyerapan tenaga kerja dari era kejayaan industri tekstil, garmen, atau alas kaki di masa lalu. Ia menegaskan bahwa lanskap kompetisi global saat ini telah berubah drastis dan sangat ketat, menuntut pendekatan yang berbeda dalam strategi ketenagakerjaan dan pengembangan industri.

Selain itu, Sanny juga menggarisbawahi pentingnya perbaikan kualitas data yang dimiliki pemerintah. Ia melihat bahwa ketidakakuratan dan simpang siurnya data menjadi hambatan serius dalam merumuskan kebijakan yang tepat guna, terutama terkait isu ketenagakerjaan.

Sebagai contoh, Sanny mempertanyakan akurasi data mengenai jumlah tenaga kerja yang benar-benar bekerja dan yang menganggur, termasuk juga proporsi di sektor informal. Ia juga menyoroti definisi “bekerja” yang masih problematis, di mana seseorang yang hanya bekerja satu jam dalam seminggu pun dapat dikategorikan sebagai pekerja, yang berpotensi menyamarkan angka pengangguran sebenarnya.

Ringkasan

Menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, pengusaha cemas terhadap lonjakan PHK yang menurut Apindo disebabkan kurangnya daya saing industri. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan PHK sebesar 32% hingga Juni 2025, mencapai 42.385 orang.

Kenaikan PHK ini berkorelasi dengan meningkatnya pengangguran, menghambat investasi, dan berpotensi menimbulkan masalah sosial. Apindo menekankan perlunya sektor industri baru yang mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja dan perbaikan data pemerintah agar kebijakan ketenagakerjaan lebih tepat sasaran.

Sponsored