Sponsored

HTI Energi Bersih: Peluang Emas vs Tantangan di Depan Mata!

Indonesia secara tegas menyoroti peran strategis hutan tanaman industri sebagai pilar solusi energi hijau. Penegasan ini menggarisbawahi komitmen nasional dalam mempercepat transisi energi berkelanjutan, disampaikan dalam sesi talk show bertajuk “The Future of Industrial Plantation Forest in Contributing to Renewable Energy” di Paviliun Indonesia pada Konferensi Para Pihak ke-30 (COP 30) di Belem, Brasil, pada Kamis, 13 November.

Sponsored

Novia Widyaningtyas, Staf Ahli Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan Kementerian Kehutanan Indonesia, lebih lanjut memaparkan bahwa sektor kehutanan memegang peranan krusial sebagai kontributor utama dalam pencapaian target penurunan emisi karbon nasional.

Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), kontribusi sektor kehutanan dan lahan mencapai sekitar 60 persen dari total target penurunan emisi. Novia menegaskan, “Hutan bukan sekadar penyedia kayu, melainkan juga pemasok biomassa esensial untuk mendukung transisi energi yang senantiasa mengedepankan prinsip keberlanjutan.”

Untuk menjamin keberlanjutan, Novia menjelaskan bahwa tata kelola hutan di Indonesia telah terstruktur dalam kerangka Sistem Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management). Sistem ini diawasi secara ketat melalui Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana) yang mengintegrasikan data penginderaan jauh dengan pemantauan lapangan, menghasilkan pelaporan yang akuntabel dan transparan.

Lebih jauh lagi, demi memastikan legalitas dan keberlanjutan produk kehutanan, pemerintah Indonesia menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang kredibilitasnya telah diakui di kancah internasional.

Sejak diluncurkan pada tahun 2009, SVLK telah berhasil menerbitkan lebih dari 2,45 juta dokumen ekspor yang sah, dengan partisipasi aktif dari lembaga sertifikasi independen dan pengawas masyarakat sipil.

SVLK bukan hanya instrumen yang menjamin legalitas,” tutur Novia, “tetapi juga menegaskan komitmen Indonesia bahwa setiap produk biomassa bersumber dari material yang legal dan dikelola berdasarkan prinsip keberlanjutan.”

Salah satu produk biomassa yang kini kian menonjol adalah wood pellet, olahan kayu yang menjadi penghubung vital antara sektor kehutanan dan energi.

Saat ini, Indonesia memiliki 35 unit industri wood pellet yang tersebar di beberapa provinsi, termasuk Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Gorontalo, dengan total kapasitas produksi mencapai sekitar 3 juta meter kubik per tahun.

Data dari Kementerian Kehutanan periode 2020 hingga 2024 menunjukkan bahwa produksi wood pellet terbesar disumbangkan oleh Gorontalo (29,9 persen), diikuti Jawa Timur (23,1 persen), dan Kalimantan Tengah (12,5 persen).

“Industri wood pellet tidak hanya memberikan nilai ekonomi signifikan, tetapi juga membawa beragam manfaat sosial dan lingkungan,” terang Novia, “mulai dari penyediaan pakan ternak, sumber madu, hingga pemanfaatan optimal limbah kayu.”

Meninjau dari perspektif pelaku usaha, Deputi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Iwan Setiawan, menggarisbawahi urgensi integrasi sektor hulu dan hilir. Hal ini krusial untuk menciptakan rantai pasok biomassa yang tidak hanya efisien tetapi juga berdaya saing tinggi.

“Dengan mengintegrasikan industri mulai dari tahap pembibitan hingga produk akhir, biaya operasional dapat ditekan secara signifikan,” jelas Iwan.

Iwan juga mencontohkan praktik intercropping, yaitu penanaman tanaman energi cepat tumbuh seperti Kaliandra di sela-sela pohon utama berumur panjang. Pendekatan ini memastikan lahan tetap produktif dan menghasilkan manfaat ekonomi lebih cepat.

Indonesia memiliki sekitar 8,6 juta hektare lahan potensial untuk pengembangan hutan tanaman energi. Dengan memanfaatkan spesies cepat tumbuh berkalori tinggi dan menjamin keberlanjutan melalui sertifikasi SVLK, hutan tanaman industri berpotensi menjadi sumber biomassa yang ramah lingkungan dan terjamin legalitasnya.

“Melalui program co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), hasil dari hutan tanaman energi dapat langsung dimanfaatkan untuk mensubstitusi sebagian penggunaan batu bara,” imbuh Iwan. “Ini berarti sektor kehutanan turut serta dalam mengakselerasi pencapaian bauran energi terbarukan nasional.”

Beralih ke potensi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI), Dikki Akhmar, menyoroti besarnya peluang pemanfaatan biomassa dari limbah pertanian dan perkebunan. Ia secara spesifik menyebut palm kernel shell (PKS) atau cangkang inti sawit sebagai sumber daya yang sangat menjanjikan.

Dikki menjelaskan, setiap ton PKS yang dimanfaatkan berpotensi menurunkan emisi karbon hingga 0,94 ton CO₂. Indonesia sendiri mengekspor sekitar 4 juta ton PKS per tahun ke negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, menunjukkan skala pemanfaatannya.

Namun, Dikki juga tak luput menanggapi secara tegas kampanye negatif yang sering menuduh pemanfaatan biomassa Indonesia sebagai pemicu deforestasi.

“Tudingan itu sama sekali tidak berdasar,” tegas Dikki. “Indonesia adalah negara tropis dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi, memungkinkan tanaman tumbuh dengan cepat. Selain itu, semua aktivitas kehutanan kami diawasi secara ketat melalui sistem SVLK yang dilengkapi kode batang digital, menjamin ketelusuran penuh dari hulu ke hilir.”

Bagi Dikki, biomassa sejatinya bukanlah ancaman, melainkan solusi strategis untuk lingkungan. “Dengan dukungan regulasi yang kuat, sistem pengawasan yang transparan, dan semangat kolaborasi lintas sektor,” pungkas Dikki, “Indonesia sangat siap untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan energi terbarukan berbasis hutan yang berkelanjutan.”

Tantangan Lingkungan dari Penggunaan HTI untuk Energi

Namun, di balik gelombang optimisme tersebut, Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyuarakan pandangan yang berbeda. Menurutnya, skema pemanfaatan hutan tanaman industri sebagai sumber biomassa justru berpotensi menimbulkan persoalan ekologis signifikan yang kerap terabaikan dalam narasi energi hijau.

“Pohon menyerap karbon sepanjang siklus hidupnya,” tegas Andi dalam pernyataan tertulis kepada Katadata Green pada Kamis, 20 November. “Namun, begitu pohon ditebang, diolah menjadi pelet, lalu dibakar, seluruh karbon yang selama ini tersimpan akan dilepaskan kembali ke atmosfer.”

Ia menguraikan bahwa siklus panen yang cepat, seperti pada akasia yang ditebang setiap tiga hingga empat tahun, dapat mengganggu keseimbangan karbon tanah, menyebabkan penurunan kesuburan, dan pada akhirnya meningkatkan ketergantungan pada pupuk kimia. Kondisi ini, pada gilirannya, memicu emisi tambahan yang tidak bisa dianggap remeh.

Lebih lanjut, Andi menyoroti bahwa proses produksi wood pellet memerlukan konsumsi energi yang masif, khususnya untuk pengeringan kayu di iklim Indonesia yang lembap. “Kita berupaya menghasilkan energi, namun untuk memproduksinya kita justru menguras energi,” ujarnya. “Inilah paradoks biomassa yang jarang menjadi bahan diskusi publik.”

Ia juga menambahkan bahwa nilai kalor pelet jauh lebih rendah dibandingkan batu bara. Oleh karena itu, praktik pencampuran pelet dengan batu bara (co-firing) dikhawatirkan hanya akan menjadi pembenaran untuk memperpanjang usia operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), alih-alih mempercepat penghentiannya.

Andi turut mengingatkan potensi risiko sosial dan ekologis akibat ekspansi hutan tanaman energi dalam skala besar. “Kebutuhan lahan untuk biomassa tidaklah kecil. Jika permintaan melonjak, tekanan untuk pembukaan lahan baru akan meningkat, yang rentan memicu konflik agraria,” paparnya.

Selain itu, sistem monokultur yang lazim diterapkan pada hutan tanaman energi (HTE), menurut Andi, meningkatkan kerentanan terhadap penyakit dan hama. Hal ini pada akhirnya mendorong penggunaan pestisida berlebihan yang berujung pada ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati.

Andi juga menekankan bahwa persoalan rantai pasok tidak dapat diabaikan. “Beberapa investigasi di Korea Selatan dan Jepang menunjukkan bahwa sebagian pelet yang mereka impor berasal dari hutan alam,” ungkapnya. “Ini membuktikan bahwa biomassa tidak secara otomatis ‘bersih’ seperti yang kerap diklaim oleh industri.”

Mengutip studi dari The Royal Institute of International Affairs (2021), Andi menjelaskan bahwa jika seluruh rantai pasok dihitung — mulai dari penebangan, logistik, hingga degradasi hutan — emisi CO₂ per kWh dari biomassa bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan batu bara.

“Ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita,” pungkas Andi. “Jangan sampai kita keliru menganggap biomassa sebagai solusi, padahal jejak karbon yang dihasilkannya berpotensi lebih besar dari energi fosil.”

Ringkasan

Indonesia menyoroti peran strategis hutan tanaman industri (HTI) sebagai pilar solusi energi hijau dan komitmen nasional dalam transisi energi berkelanjutan. Sektor kehutanan memiliki kontribusi penting dalam pencapaian target penurunan emisi karbon nasional, dengan fokus pada pemanfaatan biomassa yang berkelanjutan dan legal melalui Sistem Pengelolaan Hutan Lestari (SFM) dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Meskipun demikian, pemanfaatan HTI untuk biomassa juga menghadapi tantangan ekologis. Siklus panen cepat dapat mengganggu keseimbangan karbon tanah dan meningkatkan ketergantungan pada pupuk kimia. Produksi wood pellet juga membutuhkan konsumsi energi yang besar, dan ekspansi hutan tanaman energi dapat memicu konflik agraria serta ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan seluruh rantai pasok dan potensi emisi CO₂ yang lebih tinggi dari energi fosil.

Sponsored