Wall Street mengalami penurunan tajam pada perdagangan Selasa (2/9), dengan indeks-indeks utama mengakhiri hari di zona merah. Penurunan ini didorong oleh beberapa faktor, termasuk kekhawatiran investor terhadap kebijakan perdagangan AS dan kenaikan imbal hasil obligasi. Dow Jones Industrial Average anjlok 249,07 poin (0,55%) ke level 45.295,81, S&P 500 turun 0,69% ke 6.415,54, dan Nasdaq Composite merosot 0,82% ke 21.279,63.
Aksi ambil untung pasca-musim panas menjadi salah satu penyebab utama koreksi ini. Saham-saham unggulan seperti Nvidia yang tergelincir sekitar 2%, serta raksasa teknologi Amazon dan Apple yang masing-masing anjlok 1%, turut memperparah penurunan. Situasi ini diperburuk oleh keputusan Pengadilan Banding Federal AS pada Jumat (29/8) yang menyatakan sebagian besar tarif global era Donald Trump ilegal. Keputusan tujuh banding empat ini menegaskan bahwa kewenangan penetapan tarif luas berada di tangan Kongres, bukan presiden. Donald Trump sendiri menyebut keputusan tersebut “sangat partisan” dan berencana mengajukan banding ke Mahkamah Agung AS.
Kenaikan imbal hasil obligasi semakin memperkeruh suasana. Imbal hasil obligasi Treasury 10 tahun melonjak menjadi 4,27%, sementara imbal hasil 30 tahun mencapai 4,97%. Lonjakan ini dipicu kekhawatiran bahwa pemerintah AS mungkin harus mengembalikan miliaran dolar penerimaan tarif setelah putusan pengadilan, yang semakin menekan situasi fiskal negara. Kondisi ini menimbulkan sentimen negatif di pasar menjelang September, bulan yang secara historis dikenal sebagai periode sulit bagi pasar saham. Dalam lima tahun terakhir, indeks S&P 500 rata-rata turun 4,2% di bulan September, dan lebih dari 2% rata-rata dalam 10 tahun terakhir.
Ross Mayfield, strategis investasi di Baird Private Wealth Management, menilai lonjakan imbal hasil obligasi sebagai tantangan besar bagi saham-saham berkapitalisasi besar. “Saya pikir ini akan terus menjadi hambatan bagi saham-saham yang diperdagangkan dengan valuasi yang cukup tinggi,” katanya kepada CNBC Internasional. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa Agustus lalu terbilang solid untuk Wall Street, dengan indeks S&P 500 naik hampir 2% dan menembus level 6.500 untuk pertama kalinya.
Kini, perhatian investor tertuju pada rilis laporan tenaga kerja AS untuk Agustus pada Jumat (5/9), dan dampaknya terhadap keputusan suku bunga The Federal Reserve pertengahan bulan ini. Sam Stovall, Kepala Strategi Investasi CFRA Research, mencatat bahwa Agustus mencatatkan lima rekor tertinggi baru untuk S&P 500, menjadikan total rekor tertinggi tahun ini mencapai 20 kali. Namun, berdasarkan pola historis, ketika S&P 500 mencatat 20 atau lebih rekor tertinggi hingga akhir Agustus, pasar cenderung terkoreksi pada September. “Pasar mungkin akan melepaskan sebagian keuntungan baru-baru ini dalam jangka pendek sambil menunggu katalis baru,” kata Stovall.
Ringkasan
Wall Street mengalami penurunan signifikan pada Selasa (2/9), dengan Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan oleh aksi ambil untung pasca-musim panas, keputusan pengadilan yang menyatakan sebagian besar tarif global era Trump ilegal, dan kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Kenaikan imbal hasil obligasi, mencapai 4,27% untuk obligasi 10 tahun dan 4,97% untuk obligasi 30 tahun, menambah kekhawatiran investor. Sentimen negatif diperkuat oleh riwayat historis September sebagai bulan yang sulit bagi pasar saham. Investor kini menunggu rilis laporan tenaga kerja AS dan keputusan suku bunga The Federal Reserve untuk menentukan arah pasar selanjutnya.