Sponsored

COP30: Janji NDC Indonesia Melenceng, Madani & Pantau Gambut Kritik

Madani dan Pantau Gambut menilai bencana ekologis masih berulang di seluruh Indonesia meskipun pemerintah telah mengeluarkan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) sejak sembilan tahun yang lalu.

Sponsored

Konferensi tingkat tinggi iklim PBB atau COP30 yang akan berlangsung di Brasil pada November mendatang menjadi ajang diplomasi berbagai negara pada isu lingkungan, menjadikan pengelolaan hutan, laut, dan biodiversitas menjadi pilar strategis untuk dibahas. Namun, Madani dan Pantau Gambut menilai janji pemerintah Indonesia untuk membuat emisi karbon dari sektor kehutanan menjadi nol (FOLU Net Sink) justru semakin jauh.

Analisis perbandingan data tahunan mengenai angka dan sebaran karhutla menunjukkan pola yang relatif konsisten. Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut mengidentifikasi sejumlah daerah terus menjadi episentrum karhutla dengan tingkat insiden yang tinggi.

Dari total lebih dari 300 ribu hektare Area Indikatif Terbakar (AIT), Kalimantan Barat teridentifikasi sebagai provinsi dengan AIT terluas sepanjang periode Januari hingga September 2025, mencapai luasan 123.076 hektare. Bahkan, 78.267 hektare di antaranya terjadi di area yang masuk dalam rencana operasional subnasional FOLU Net Sink.

Ekosistem gambut juga tidak luput dari permasalahan yang sama. Pantau Gambut menghitung jumlah area bekas terbakar (Burned Area) di lahan gambut pada bulan Juli dan Agustus yang mencapai 26.761 hektare, dengan Riau dan Kalimantan Barat menjadi dua provinsi dengan ekosistem gambut terbakar paling luas. Parahnya, 56% kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di periode yang sama terjadi pada area berizin hak guna usaha (HGU) sawit dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).

“Fragmentasi kelembagaan menjadi sumber masalah yang masih berlarut. Padahal, sebuah ekosistem seperti gambut merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipilah secara administratif maupun sektoral,” kata Juru Kampanye Pantau Gambut, Putra Saptian, dalam siaran pers, Selasa (21/10).

Upaya Restorasi Gambut Makin Lemah

Pemisahan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) dan Kementerian Kehutanan menjadikan koordinasi, birokrasi, dan tata kelola menjadi semakin kompleks. Selain itu, tidak diperpanjangnya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) juga membuat upaya restorasi gambut menjadi semakin lemah.

Madani Berkelanjutan mencatat, pasca Perpres No. 120 Tahun 2020, BRGM kehilangan kewenangan untuk melakukan monitoring dan supervisi di area konsesi dan wilayah yang justru berisiko tinggi terhadap kebakaran. Tanpa kewenangan tersebut, BRGM tidak dapat memastikan pemeliharaan infrastruktur restorasi di kawasan konsesi secara efektif.

“Pembubaran BRGM menguatkan pola berulang dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, yaitu membentuk lembaga saat krisis dan diikuti pembubaran ketika tekanan mereda,” ujar Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto.

Pola ini mencerminkan pendekatan ad-hoc yang mengandalkan logika kedaruratan ketimbang desain kelembagaan jangka panjang. Dalam konteks ini, BRGM bukan hanya gagal dilembagakan, tetapi sejak awal memang tidak didesain untuk bertahan.

Untuk mencapai target iklim, terutama dari sektor FOLU, Madani Berkelanjutan menilai kerja-kerja pemerintah tidak boleh sektoral. Semua harus bersinergi untuk memiliki visi yang sama, menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, apalagi di lahan gambut.

“Jika pembukaan lahan skala besar masih terus dilakukan dan penanganan karhutla masih belum optimal, maka upaya mencapai target penurunan 31,89% emisi karbon tanpa syarat dan 43,20% dengan syarat, akan semakin berat bagi Indonesia. Ajang COP 30 Brazil pun bisa hanya menjadi pepesan kosong belaka,” kata Sadam Afian Richwanudin, Peneliti Madani Berkelanjutan.

Sponsored